Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Karena Kau Sumber Inspirasi Keduaku

10 April 2016   15:44 Diperbarui: 12 April 2016   07:32 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dokumen pribadi/subhan"][/caption]Kutatap begitu dalam dan lama wajah sendumu dalam dunia virtual, setelah sekian lama menghilang bak ditelan bumi, kini kau hadir dihadapanku melalui cara berbeda yaitu “sosial media”. Pertemuan yang tak biasa ini sempat menjadi nyata. Dari pertemuan begitu mesra sehingga terlalu “manis untuk dilupakan” sepertinya mata pancingmu telah mengailku hingga begitu rumit melupakannya. Jarak, ruang, dan waktu lah yang memisahkan hubungan kita.

Sebenarnya kau salah satu sumber inspirasiku setelah ibu, lalu istriku, berikutnya kamu iya....kamu, dengan segala kekuranganku yang lain acuh, kau begitu antusias menyambutku, sepertinya baru malam ini sangatlah indah bagiku, mendengar kabar darimu meski bukan balasan setimpal bagiku. Tapi itu saja sudah cukup menghibur. Ya, mungkin.

Sebelum hembusan napas terakhirku, setidaknya TUHAN sekiranya memberi kesempatan bertemu sekali lagi untuk berbincang-bincang beberapa hal antara kau dan aku, namun sayangnya tak satu pun kehendak tersebut tercapai hingga kini, "ingin sekali kubisikkan ditelingamu bagaimana perasaanmu hari ini, Sayang?" ujarku agak melankolis sambil sesekali membelai rambut ikalmu sekaligus memperbaiki posisi duduk dipinggiran kasur, tempat kita melepas rindu.

Ku memanggilnya dengan sebutan "sayang" karena dia mengerti akan diri dan kondisiku atau tingkat perekonomianku?. Biarlah itu menjadi rahasia hatiku, setelah istri yang terkenal agak ketus tapi ibu rumah tangga yang hebat, sebutan untuk wanita spesial yang tidak jijik atas jenis penyakitku.

Entahlah!!! Tuluskah padaku, mimpi atau kenyataan, setengah percaya setengahnya lagi ragu-ragu akan ketulusan hatinya, sejauh ini dia wanita kedua untuk lelaki seperti aku, secara jujur mengungkapkan fakta bahwa aku sakit begitu karena memang aku tidak pantas untuk bidadari sepertinya; “bukan karena tidak mencintaimu sayang” aku tidak percaya diri dan tidak sempurna ketika berhadapan dengan wanita sesempurna dirimu, memang sudah sewajarnya kamu mendapatkan lelaki sempurna seperti dia.

"Apa yang kau rasakan, rasakanlah sayang?" tanyankan saja pada hati kecilmu, Tuhan tahu kok, memangg takdir telah memisahkan kisah cinta kita. Jauh dimata dekat dihati, semoga demikian, “sayang?”

Mulutku diam, sementara hatiku berontak. Motivator kondang berkata “menangis karena kejujuran itu lebih baik, dari pada menyimpan kebohongan dengan senyum kecut, sebaliknya kejujuran adalah kehormatan, kapan kita sudah kehilangan rasa kejujuran, maka tidak pantas untuk dihormati”.

Pernikahan kalian pernah ada, dengan tiga orang anak merupakan keabsahan cinta kamu dan dia, meski belakangan menampakkan watak aslinya, tempramen kasar terhadap kamu memang harus dihadapi, statusnya sudah syah suamimu sedangkan aku hanya lelaki masa lalumu, sayang?. Setelah semalaman mendengar kisah pilu dari suratmu aku menangis, dan tidak tega dengan kebaikan saudara-saudaramu, bapak serta ibumu, inginnya aku habisi SUAMIMU sebagai rasa sakit hatimu. Akhirnya aku berfikir terimalah resiko apapun meski harus tersakiti. Akan tetapi asal kamu bilang “YA” kan kubunuh lelakimu demi memenuhi pelampiasanmu, kalah atau menang urusan belakangan, demi kebebasanmu.

Cukup lama aku menunggu bisikan mesramu, lalu melihat dengan mata kepalaku sendiri suamimu terkapar, atau aku yang meregang nyawa. "Bahagiakah kamu, Sayang?" hotel prodeo sebuah ganjaran setimpal bagiku, tapi masih belum ada ku dengar dengan jelas kata-kata dendam seperti itu darimu, tepat sekiranya aku menyebutnya “BIDADARI” tersakiti berbakti. Hati ku memang lugu sekali “makin cinta saja aku padamu” kwkwkw.

Sabar sayang, telah ku siapkan sebilah sangkur paling tajam, buat memenuhi permintaanmu, atau sebisa mungkin melindungimu dari ancaman-ancaman sentimen negatif "hatters" yang tidak senang akan jalinan kasih cinta kita. sangkur ini kupersiapkan sebagai senjata pembunuh di keluargaku dari ancaman "rampok, begal, maling" yang memang mewabah di Kota tempatku merantau. Aku sama sekali tidak menyangka. Sayang. Jerih payahmu sebagai ibu dengan tiga orang anak, kau mampu membahagiakan kedua orang tuamu sekaligus meringankan beban mereka dari jerat hutang suamimu. Kau relakan rumah baru di jual serta tanah warisan untuk melunasi hutang suamimu, bahkan belum sepenuhnya terlunasi. Tapi suamimu dasar muka tembok masih saja merongrong orang tuanya (bapak dan ibunya), demi mendapat sejengkal warisan rumah mungil buat kalian tempati.

Sepertinya suamimu dahulu terkenal “mulut besar” memang bukan tipe orang yang bertanggungjawab atas perbuatannya, bukan malah berusaha mandiri, malah dimanja dengan mendapat bantuan dari orang tuanya. Sungguh!!! Andai saya lelaki normal berpenghasilan miliaran dollar, kan ku bantu secara finansial, tapi apa boleh dikata, “sayang?” Tuhan berkehendak lain, buat berobat saja sudah cukup memeras saku celana, belum kebutuhan rumah tanggaku begitu menguras tenaga dan otak, sedfangkan aku sendiri! Setengah sekarat, hidupku saja tinggal menunggu ajal, mustahil ku lakoni kedua-duanya. Setelah berkali-kali ku mengacuhkan diri, aku masih saja berfikiran tentang dia walau sebatas angan, "Kenapa hal ini bisa terjadi, mungkinkah ini yang disebut pubertas usia kepala empat? Apakah kamu menyesal?" aku pernah bertanya padanya kala berdua saja dengannya, dia hanya "menggelengkan kepala" pertanda tidak menyesal. Aku tak sanggup menatap air matanya, kegelapan dan kebencian terhadap suaminya menutupi pandangannya dariku, yang ada hanya cinta dan sayang padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun