Dokumen Pribadi/Subhan
Upaya keras pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa tertuang pada alinea 4 pembukaan undang-undang dasar 1945 seperti bias manakala saya membaca riset yang dilakukan John Miller, presiden Universitas Central Connecticut State di New Britain. Dalam studinya menempatkan Finlandia sebagai negara paling terpelajar di dunia.
Diakui, riset ini seratus persen sangat "menoreh" luka, menjadikan upaya pemerintah tidak penting “lagi” di mata masyarakat. Kehadiran Hari Pendidikan Nasional belum mampu mengentaskan moral bangsa bebas dari kebodohan. Penyematan Indonesia sebagai peringkat-60 negara terpelajar di dunia oleh presiden Universitas Central Conneticut State jelas sangat memerosotkan wibawa negara yang melalaikan moralitas berbangsa dan bernegara, jika ini dibiarkan berlangsung secara terus menerus, tidak menutup kemungkinan disintegrasi bangsa akan mengoyak persatuan dan mengancam eksistensi NKRI, jangan sampai Revolusi Mental yang digaungkan pemerintah mental, sepertinya negara tidak hadir memutus kemelut dunia pendidikan yang selalu berkutat pada permasalahan penyelewengan dana pendidikan dengan alasan konspirasi kepentingan. Belum meratanya tenaga pengajar, upah tenaga pengajar diberbagai daerah relatif belum merata menjadikan proses belajar tidak sesuai ekspektasi.
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, kita sudah terlalu lama membiarkan praktik-praktik berbangsa dan bernegara dilakukan dengan tidak jujur, tidak memegang etika moral, tidak bertanggung-jawab, Sebagai bangsa kita krisis identitas, kehilangan nilai Integritas. Mereka sadar bahwa berbakat dan pintar saja masih belum cukup untuk meraih prestasi, diperlukan disiplin diri yang tinggi dan konsisten untuk mencapai prestasi terbaik.
Melunturnya nilai-nilai kepandaian otak pelajar mempertegas bahwa kurangnya literasi mengindikasikan rendahnya “karakteristik sikap terpelajar” menjadi kenyataan dengan semakin maraknya kriminalisasi. Pengaruh perkembangan IPTEK yang terjangkau berandil besar terhadap masyarakat berkunjung ke perpustakaan untuk membaca buku dan mencari literatur ilmu pengetahuan.
Ketersediaan internet menjadikan perpustakaan konvensional kehilangan fungsinya, padahal di negara-negara eropa perpustakaan merupakan resource ilmu pengetahuan. Pengaruh perpustakaan digital sungguh sangat luar biasa, mengharuskan perpustakaan konvensional mau tidak mau harus bermigrasi ke perpustakaan berbasis website. Pesatnya perkembangan teknologi informasi berdampak positif bagi peningkatan budaya gemar membaca ditengah kehidupan masyarakat yang terpuruk sehingga sangat membantu sekali. Untuk saat ini perpustakaan berbasis online menjadi solusi jitu mengatasi “budaya malas membaca” besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Tragis, potret pendidikan indonesia saat ini bukan lagi sebagai tempat menimba ilmu, tetapi berubah fungsi menjadi ajang konspirasi mencari lobi-lobi kelas teri perdagangan narkoba, ajang tawuran, corat-coret seragam sekolah, paling mengerikan, perpustakaan tempat membaca buku dijadikan sebagai tempat pacaran. Perlakuan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan yang dilakukan beberapa sekolah guna mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki belum menjadi jaminan terhindar dari pergaulan bebas ABG (anak baru gede).
Diharapkan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di indonesia dapat mengejawantahkan pelajaran-pelajaran berkualitas melalui buku-buku murah dan harga terjangkau. Pemerintah tentu sangat sulit membantah “riset” yang dilakukan Miller, bagaimana tidak? Penyelewengan dana BOS, Mark up harga buku, serta masih di temukannya sekolah di berbagai daerah tidak layak dijadikan proses belajar menambah miris bagi yang memiliki hati. Kondisi seperti ini sangat jauh dari ajaran Ki. Hajar Dewantoro, dan riset John Miller menunjukkan bahwa indonesia menyemat peringkat-60 sebagai negara terpelajar di dunia, pantaskah? bahkan meraih “rangking buncit”. John Miller menempatkan Singapura diperingkat teratas disusul Korea Selatan, Jepang dan China dalam masalah bebas dari buta huruf. Jika penilaian tersebut ditambah jumlah keberadaan Perpustakaan dan jumlah bahan pustaka maka negara Estonia, Latvia, dan Norwegia pemuncaknya.
Di dunia pendidikan internasional mutu pendidikan di indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 120 negara di semua dunia berdasar laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring report tahun 2012. Berdasarkan Indeks Perkembangan Pendidikan (education Development indeks, EDI-2011) indonesia menempati peringkat 69 dari 120 negara.
Pendidikan bukan tempat ajang bisnis semata, melainkan untuk pertumbuhan budi pekerti wahana pembentuk karakter bangsa dimana para “national builders” diharapkan mampu membawa negara bersaing dikancah global.
Stigma negatif selama ini melekat pada perpustakaan sebagai tempat orang buangan, gudang buku, berdebu, serta berhantu perlahan-perlahan mulai sirna dengan adanya riset tersebut. Kultur terpelajar suatu negara dilihat dari jumlah perpustakaan, bukan dinilai dari banyaknya Mall atau property. Diakui atau tidak sosialisasi gemar membaca selama ini digaungkan oleh pemerintah serasa “hambar” dampak dari pesatnya perkembangan teknologi, segala kebutuhan yang kita inginkan tinggal searching lalu klik informasi secara mendetail kita peroleh dengan mudah, kendala dalam penggunaan kemajuan dunia internet terletak pada moralitas usernya. Pertama, browsing hal-hal berbau maksiat. Kedua, digunakan sebagai alat peretas/hacker. Ketiga, proyek abal-abal berbau elektronik. Keempat, Menipu user dengan tujuan terselubung. Kelima, bermunculan portal radikal dan situs porno yang meresahkan bangsa indonesia.