[caption caption="dokumen pribadi/subhan"][/caption]Lanjutan cerita petualangan berkunjung ke Bantimurung, dibuang sayang setahun lalu 24 Desember 2015, di Taman wisata alam Bantimurung. Bertepatan liburan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya bersama putera kedua berumur 13 tahun mengunjungi Bantimurung.
Kali ini merupakan kunjungan kedua kalinya, sebelumnya saya pernah menginjakkan kaki disini dalam rangka berwisata melupakan kepenatan diklat 3 (tiga) bulan lamanya, bersama rombongan Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli (CPTA) Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Setelah tujuh tahun lamanya, kami kembali menyambangi “kerajaan kupu-kupu” terkaget-kaget dengan kemajuan “pembangunan” dalam areal obyek wisata. Dengan suasana yang berbeda. Kali ini, masih melalui obyek yang sama tentu dengan cerita yang berbeda, saya bersama sang junior melakukan fieldtrip ke Bantimurung. Kami berdua juga wisatawan lain, suasana tidak terlalu padat dikarenakan bulan Desember merupakan bulan dengan curah hujan paling ekstreme, walau begitu kami tetap menikmati keindahan alam disini. Taman Nasional Bantimurung terkenal dengan ciri khas fauna kupu-kupunya.
Keheranan saya memuncak ketika memandang berdiri megah Hotel tepat bersebelahan dengan museum kupu-kupu yang letaknya paling ujung dan kurang strategis, sehingga keberadaannya menghalangi museum kupu-kupu yang tidak tersentuh “renovasi” seperti dikebiri. “Apa salahnya hotel berdiri megah di areal obyek wisata Bantimurung?” tanya saya bingung. Tentu jawabannya tidak salah bagi mereka yang berorientasi “profit.”
[caption caption="dokumen pribadi/subhan"]
Mereka mulai menutup diri dari kawanan manusia. Yah, saya membuktikan hal itu ketika sempat menyaksikan seekor kera bergelantungan disalah satu rimbunnya pepohon dekat hutan. Realitasnya, tidak hanya habitat kera yang sudah mulai langka ditemukan disana. Spesies jenis kupu-kupu yang menjadi ikon khas Bantimurung juga sudah mulai menemui kepunahan. Saat berkunjung kedua kalinya, sudah mulai sulit ditemukan kupu-kupu beterbangan “menyambut” kedatangan wisatawan pada pintu masuk sekitar taman nasional itu.
[caption caption="penangkaran"]
Dalam hati kecil saya, alangkah bijaknya untuk lebih merenovasi museum kupu-kupu serta lebih memperhatikan pusat penangkaran demi keberlangsungan hidup kupu-kupu, ketimbang membangun “keuntungan” bagi mereka yang berkantong tebal, sehingga keberlangsungan hidup identitas kupu-kupu punah didepan mata.
Dalam benak saya, nasi sudah menjadi bubur, hotel mewah telah berdiri keras, kuat, kokoh tidak memungkinkan untuk dipugar.
[caption caption="patung kupu-kupu"]
Dan nyatanya, setelah saya berkunjung ke sana, yang mencirikan “kupu-kupu” hanya souvenir-souvenir yang dijajakan oleh pedagang-pedagang disekitar taman nasional itu. “kurang sekali kupu-kupu, tidak seperti saat saya berkunjung tujuh lalu,” tutur saya siapa tahu suatu saat bisa bermalam di hotel tersebut bersama keluarga atau teman kerja. Hidup bukan hanya urusan perut yang menyeret kita menjadi manusia moderen tak peka, tak berperasaan dan egois.