Semasa saya kecil sering menyanyikan lagu-lagu Gundul-Gundul Pacul, liriknya sangat kental dengan logat jawa, tanpa dosa biasa dinyanyikan secara cengengesan saat dolanan baik di sawah maupun di jalanan. Setelah puluhan tahun, saya baru sadar Gundul-Gundul Pacul mengandung nilai filosofis yang dalam.
Melalui ajang pencarian bakat dakwah Aksi Indosiar menyaksikan dakwah AKSI indosiar yang dibawakan oleh da’i-da’i muda berbakat generasi penerus uztad-uztad senior dan profesional, pas kebetulan da’i Hari asal Purwokerto, membawakan materi filosofi Gundul-Gundul Pacul, nah dari situ saya kagum dengan pencerahan tersebut, meski sederhana namun memiliki makna luas.
Gayanya ngocol nan ngebanyol, lugas, dengan bahasa kocak, logat ngapaknya belepotan di beberapa bagian, disitulah perbedaan Da’i Hari dengan kontestan lain, entah karena demam panggung atau ingin tampil sempurna di hadapan dewan juri, terlepas itu semua insya alloh pesannya sampai ke penonton baik langsung maupun di rumah. Saat Hari tampil wajahnya mengingatkan figur komedian legendaris indonesia warkop DKI Alm. Dono.
Tanpa buang waktu saya mencoba merayu kompasiana.com baru. Menulis kembali, menelusuri berbagai referensi milik mbah GOOGLE, untuk mengetuk pintu hati pemimpin moderen yang tidak mau menoleh, kecuali embel-embel TITEL disebut saat namanya dipanggil. mudah-mudahan tata kelola bahasa berkenan sampai kepada para pemimpin hingga di pelosok indonesia yang rata-rata memiliki budaya kerja korup, egois, individualis, kapitalis, otoriter dan feodalis terbuka mata, telinga, penglihatan juga hatinya.
Sebelum mengulas tembang lebih luas, hambar bagai sayur kurang garam apabila tidak mengenal sejarah singkat sang pencipta tembang tersebut. Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.
Sejarah singkat Sunan Kalijaga...
Nama kecil adalah Raden Said, Ayahnya adalah seorang Adipati Tuban-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe bernama Raden Arya Wilatika. Beliau juga memiliki nama panggilan Lokajaya, Syeh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Kalangan jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali untuk kungkum (berendam) di sungai (kali) atau jaga Kali (menjaga sungai) ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai 100 tahun.
Dalam dakwahnya memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk dakwh, beliau sangat toleran dengan budaya lokal. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan islam, menggunakan seni dan terbukti metode tersebut terbukti efektif sebagian besar di daerah jawa memeluk islam melalui Sunan Kalijogo.
Salah satu tembang legendaris adalah Gundul-Gundul Pacul Konon tembang ini diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijogo dan teman-temannya saat masih remaja. Syia’r penyebaran agama islam yang dibuat oleh Sunan Kalijogo terbilang unik namun mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia.
Sebelum menguraikan arti filosofis tembang Gundul-gundul Pacul, kita baca dulu liriknya:
“Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar”
Gundul artinya plontos/botak tanpa rambut. Kepala perlambang kehormatan dan kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Dengan demikian, gundul artinya adalah kehormatan yang tanpa mahkota.