[caption caption="news.detik.com"][/caption]Harus diakui, betapa suara-suara marjinal
seperti penulis terkadang hanya dipandang sebelah mata.
(Nukilan)
Saya terharu melihat aksi nekat sembilan ibu-ibu perkasa yang memperjuangkan haknya dari intervensi korporasi kakap. Mengharukan!!! Aksi demonstrasi dilakukan sembilan petani perempuan dari tiga kota di Jawa Tengah mengecor kaki menggunakan semen, di depan Istana Merdeka, Jakarta. Aksi nekat dilakukan guna memprotes pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia di wilayah pegununan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah.
Selain itu, untuk menyampaikan tuntutan penghentian aktivitas pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng. Sebuah perjuangan luar biasa dilakukan sembilan Kartini ini, sampai-sampai diluar dugaan mempertahankan urusan dapur agar tetap mengebul. Sebuah alasan yang masuk akal, pabrik yang akan dibangun itu akan merusak lingkungan tempat mereka tinggal, tanah yang menjadi sumber penghasilan mereka pun akan tergerus dan rusak secara bertahap. Seruan para ibu-ibu “Pegunungan Kendeng adalah lumbung pangan kami semua, ada sumber mata air di sana, dan kami perlu itu”.
Sudah sepantasnya masalah lingkungan dibahas menurut konteks permasalahannya. Seperti pencemaran lingkungan, kerusakan sumber daya alam, dan masalah permukiman. Terkait konteks cakupan permasalahan pencemaran lingkungan banyak sekali permasalahan didalamnya antara lain: pencemaran air, pencemaran udara, limbah bahan berbahaya dan beracun, merupakan satu kesatuan tidak dapat dipisah akibat perilaku manusianya.
Selama berada di Jakarta, kesembilan perempuan yang dikenal dengan sebutan Kartini Pegunungan Kendeng ini, menginap di kantor LBH Jakarta. Mereka merupakan para petani sepanjang pegunungan Kendeng yaitu Rembang, Pati, dan Grobogan, Jawa Tengah.
Semua aktivitas, mulai dari makan, tidur hingga berganti pakaian, mereka lakukan dengan kaki terpasung semen. Subhanallah betapa durhakanya dunia atas kelaliman berburu investasi.
Tidak dapat disangkal“hanya di Indonesia” suara-suara jerit hati masyarakat yang hanya mampu berbuat seperti ini, maka ketika berhadapan dengan korporasi besar sudah dipastikan tidak bernyali. Mereka (9 kartini) tidak bisa berharap banyak, sayup-sayup nyanyian sembilan kartini berikhtiar.
Kalaupun keadaan berbicara lain, mereka hanya bisa pasrah, mungkin yang “memiliki keadilan”yang akan berbicara, dan alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya, bahkan seorang Salim Kancil dan Tosan, aktivis yang dibunuh di Lumajang lantaran berani melawan kapitalisasi sumber daya alam adalah bukti bagaimana perjuangan terhadap nilai-nilai kebaikan sangatlah beresiko bahkan mengorbankan nyawa. Padahal, dalam berbagai diskusi, seminar dan pidato pemerintah, telinga kita dijejali berbagai dengan istilah “sustainable development” alias pembangunan berkelanjutan. Dan seorang Salim Kancil adalah seorang yang berjuang keras mempertahankan suatu nilai tertinggi yakni pelestarian lingkungan dan keberlanjutan.
Sebelum membangun pabrik di wilayah pegunungan Kendeng Utara, Rembang, PT Semen Indonesia berencana membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, namun rencana itu urung terlaksana, karena gugatan warga, yang diwakili tokoh masyarakat, menang hingga tingkat Mahkamah Agung.
Namun, upaya warga untuk menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng, kandas di pengadilan. Pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, memutuskan tidak menerima gugatan warga Rembang terkait pembangunan pabrik.
PT Semen Indonesia saat ini tengah membangun pabrik di Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang dengan kapasitas produksi dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Sejumlah warga pegunungan Kendeng, Jawa Tengah menentang pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di wilayahnya yang mulai masuk sejak 2010. Semen sendiri menggunakan bahan baku batu karst, dan akan menambang batu karst di pegunungan tersebut. Warga meyakini penambangan batu tersebut akan merusak sumber mata air warga.