Baru saja viral pemberitaan gugatan anak dan menantu terhadap ibu kandung yang dialami Siti Rokayah alias Amih di Garut Jawa Barat. Â Tak tanggung-tanggung Yani sebagai anak kandung dan suaminya Handoyo Adianto menggugat ibu Amih sebesar Rp 1,8 miliar.
Kisah serupa terjadi di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara dialami ibu Fariani (51), digugat ketiga anak kandungnya sendiri. Bukan hutang piutang, gugatan itu melainkan perkara harta gono-gini berupa beberapa bidang hektar tanah dan rumah senilai Rp. 15 miliar. Belum kering tanah kuburan suami ibu Fariani Almarhum Ipda. Purnawirawan Matta orang tua dari ketiga anak tersebut, warisan menjadi barang rebutan.
Ibu Fariani berdomisili di Kecamatan Betoambari mengisahkan dengan tegar dihadapan awak media saat ditemui di Pengadilan Agama Kota Bau-bau. Apakah ini hanya puncak gunung es atas sikap masyarakat Indonesia terhadap Ibu atau ibu terhadap anak, bahkan perseteruan tanah warisan juga menimpa saudara sendiri?. Benar, dalam budaya timur, biasanya orang tua terutama Ibu akan sangat dihormati. Andai ada ibu membunuh anak atau menyia-nyiakan anaknya itu bagian dari dampak devisit suatu wilayah.
Seperti diberitakan kompas news pada 11 April 2017, ketiga anak Ibu Fariani berinisial AS (32), NS (30), dan PW (22) memasukkan gugatan pada bulan Maret 2017, mereka menggugat warisan berupa sebidang tanah, rumah, mobil termasuk rumah yang ditinggali Fariani. Upaya mediasi pun telah dilakukan akan tetapi ketiga anaknya tetap menginginkan gugatan terus dilanjutkan ke meja hijau. Kacau!!!
Pasti banyak Ibu-ibu di Indonesia senasib sepenanggungan dengan bu Amih di Garut, ibu Fariani di Bau-Bau berjuang mempertaruhkan nyawa cucuran darah dan keringat saat melahirkan anak-anaknya, tak jarang juga Ibu terpaksa menghembuskan nafas terakhir asalkan buah hatinya lahir dengan selamat. Tak jarang dalam kondisi perekonomian terjepit terpaksa melakukan tindak kejahatan demi mempertahankan asap dapur tetap ngebul. Kiranya moment Kartini 21 April saat tepat bagi anak-anak untuk memohon maaf atas khilafnya terhadap orang tua khususnya ibu, termasuk diri saya sendiri yang jauh di perantauan.
Begitu keterlaluan ketiga anak bu Fariani, bukankah disebut harta warisan jikalau kedua orang tuanya sudah tiada. Tolong diralat kalau salah, saya tidak habis pikir membacanya. Tetapi bu Fariani akan tetap membagikan harta mereka masing-masing sesuai aturan Agama, meski jasadnya masih sehat wal’afiat. Ibu Fariani memilki empat orang anak, dua diantaranya (AS dan SN) sudah menikah, hidup terpisah dengan ibunya.  Sementara PW konon berpendidikan tinggi alumni sekolah milik Pemerintah Dalam Negeri-STPDN lebih memilih tingga sendiri. Setelah membaca profilnya mereka ini secara duniawi kecukupan harta, akan tetapi secara moral miskin aqlakul karimah, norma kesopanan serta tanggungjawab kepada orang tua, mau enak tidak mau susah. Lalu anak keempat berinisial RPP (11) lebih memilih tinggal bersama ibunya. Lucunya lagi, bukan hanya ibunya, adiknya yang masih berusia 11 tahun turut mereka gugat, dimana letak kesalahan adik kandungnya sendiri. Parah!!!
Entah setan mana yang menempeli tubuh ketiga anak bu Fariani, kiranya dunia muali terbalik, kiamat sudah dekat, anak masa kini kian durhaka kepada orang tua. Inilah ujian seorang ibu zaman sekarang, walaupun sedih selalu mendo’akan kebaikan untuk ketiga anak-anaknya, dengan maksud dan tujuan agar mereka sadar dan berubah. Gugatan harta waris telah diproses dengan surat Nomor. 163/ptg/2013/PA/2017 atas nama penggugat Arman Setiawan, ujar Mushlih Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Baubau.
Kasus diatas syarat akan pesan moral, moment Hari Kartini semoga menjadi pembelajaran bagi kehidupan manusia anak-anak lainnya di Indonesia dalam memaknai kehadiran seorang ibu. Wallahu ‘Alam Bishowaf.
Makassar, 14 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H