Sepakbola merupakan salah satu olahraga paling popular di masyarakat baik Indonesia maupun mancanegara, boleh dikatakan olahraga mendunia. Pelaku bukan hanya didominasi kaum adam, bahkan merambah kaum hawa, tengok saja kiprah mereka pada ajang sepakbola wanita, skill individu maupun taktik pelatih nyaris mendekati pria.
Olahraga ini juga melulu urusan pemain, juga menyedot berbagai kalangan yang disebut supporter, pedagang pun tak mau kalah bersaing meramaikan kompetisi sepakbola. Akan tetapi dibalik popularitas tadi setujukah kita menyebut sepakbola sebagai olahraga “gila.” Tentu hal ini menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat hingga pemain itu sendiri, tanpa terkecuali komentator yang larut terbawa arus "gila" bola.
Panjang gawang 7 meter, tingginya 2 meter alasan disebut “gila" toh untuk apa gawang sepanjang itu harus dijaga oleh seorang kiper atau penjaga gawang, secara kasat mata sangat medah menceploskan bola ke gawang sepanjang itu, dilapangan berkata lain. Lapangan seluas itu para pemain justru kesulitan membobol gawang, apa tidak gila ini namanya. Tidak cukup disitu, jumlah pemain kedua klub bahkan Negara setidaknya 22 orang, harus memperebutkan satu bola untuk bisa membobol gawang panjang dan tinggi tersebut, wajarlah saya menyebutnya “gila”.
Sorak sorai suporter baik di lapangan maun di layar televisi ramaikan teriakan “goal!” ketika tim kesayangan kita membobol gawan. Dari gesture tubuh pemain mengarahkan kita untuk larut dalam kegilaan selebrasinya. Kegilaan kian memuncak ketika trik-trik licik mencedarai lawan, bahkan sengaja diving mengelabuhi wasit untuk mendapat tendangan bebas, pinalti tujuan utamanya. Bagi supporter atau penonton menggila saat mendapati tim favoritnya kalah pada laga sepakbola. Bener sekali!, Hidup tanpa kegilaan serasa hambar, bagai sayur kurang garam, akan terlihat terlalu “suci” dengan bau surge, dan kegilaan seperti itu otomatis hanya bisa dinikmati di muka bumi yang panas dan fana ini.
Bola memang memperstukan segala gender, ras tanpa memandang dari kasta mana mereka berasal, asal kita piawai menggocek si kulit bulat pasti diterima semua golongan, tanpa membeda-bedakan pangkat maupun jabatan. Hanya orang gila saja yang tidak menerima kekalahan sepakbola. Kalah menang dalam sepakbola bukanlah sebuah akhir cerita seperti kalah dalam medan perang. Pertanyaannya? Akan spserti apa dunia ini tanpa kehadiran sepakbola.
Sebab, sepakbola tak lebih hanyalah sarana untuk menyalurkan presatasi yang positif dari pada kita benar-benar terjerembab dalam perbuatan gila sesungguhnya. Masing-masing klub, Negara, supporter harus menerima kenyataan kalah maupun menang. Bangkit usai kalah, jangan euphoria berlebihan saat menang, tidak menutup kemungkinan yang kalah berbalik memenagkan permainan. Jaga sportivitas sepakbola, tatap kehidupan lebih baik agar kita tidak dikatakan orang gila bola kebablasan, semua akan kembali normal seperti sedia kala. Gila sepakbola atau sepakbola gila, entahlah, jelasnya perebutan satu bola itu membuat orang mengilai sepakbola.
Makassar, 28 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H