Atraksi yang diperagakan yakni, naik scooter mainan, naik sepeda motor mainan mengenakan helm, tak ubahnya pembalap motor profesional, lalu atraksi mikul jualan, dorong gerobak, lalu tarian mengenakan topeng dan berjungkir balik.Â
Uniknya, oleh pemiliknya, monyet ini dikasih pakaian olahraga sepakbola, menariknya lagi monyet itu mengenakan kostum bola bernomor punggung 11 bertuliskan Rubben. Dimana Rubben adalah pemain asal negeri kincir angin Belanda yang pernah bermain di Chelsea dan Bayern Munchen.
Suara musik dari speaker diputar kencang untuk menarik perhatian anak-anak agar hadir menyaksikan dan memberikan uang ala kadarnya setelahnya. Topeng monyet ini paling digemari anak-anak. Oleh karena itu kedatangan topeng monyet selalu disambut gembira oleh anak-anak.Â
Nah, kesempatan itupun saya gunakan untuk mendokumentasi kehadiran topeng monyet yang keberadaannya sudah dilarang pemerintah ini.
Kegembiraan anak-anak ini menjadi rezeki tersendiri bagi pemilik topeng monyet. Uang saweran dari warga merupakan sumber nafkahnya untuk menghidupi dirinya dan perbaikan gizi monyet itu sendiri.
Perkembangan Revolusi industri 4.0 menuju era 5.0 masyarakat kota semakin cerdas dan peduli akan keberlangsungan hidup satwa ini. Kondisi ini menggeser keberadaan topeng monyet. Bahkan saat ini semakin berkurang minat anak-anak untuk menyaksikan atraksi topeng monyet tergadaikan permainan gawai hingga media sosial. Akan tetapi eksistensinya patut diacungi jempol.
Larangan eksistensi atraksi topeng monyet memang cukup beralasan. Setidaknya, dari berita yang beredar ada empat poin terkait larangan pertujukkan topeng monyet.
Pertama, pertunjukan tersebut topeng monyet melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem serta Undang-Undang tentang pertenakan dan kesehatan hewan.
Larangan kedua, pertunjukan topeng monyet merupakan bentuk kekerasan terhadap hewan.
Ketiga, atraksi ini tidak menerapkan etika kesehatan dan kesejahteraan satwa, berpotensi menyiksa dan menyakiti satwa.