Keberadaan topeng monyet mulai tergerus  zaman, namun kok masih ada beratraksi menghibur masyarakat, entahlah yang jelas ia datang untuk mendapatkan uang di masa Pandemi Covid-19.
Topeng monyet merupakan hiburan tersendiri di era tahun 80-an. Sering kali kita  mendengar kata "sarimin pergi ke pasar" yang dilantunkan sang pawang atau pemilik. Kata-kata tersebut mengingatkan kita akan sebuah hiburan rakyat yang populer di eranya.
Seiring perjalanan waktu keberadaan atraksi topeng monyet mulai tergerus zaman dan semakin banyak orang yang menentangnya, dikarenakan mengeksploitasi hewan.
Memang kalau dahulu kita perhatikan secara seksama, atraksi topeng monyet ini mengandung unsur kekerasan terhadap hewan, pasalnya selain lehernya terikat rantai, monyet ini dipaksa beraksi tak ubahnya sirkus spektakuler, menghibur banyak orang khususnya anak-anak.
Kesenian topeng monyet ini baru saya saksikan langsung, setelah tetangga memanggil seorang pemilik topeng monyet keliling perumahan.
Pemilik monyet yang dimanfaatkan buat "atraksi" monyet ini pada umumnya berjalan berkeliling kompleks perumahan dari tempat yang satu ke tempat yang lain di daerah kawasan perumahan BPS 1 Makassar. Sabtu (15/01/2022). Alhamdulillah di Makassar pemiliknya tidak lagi berjalan kaki, tapi sudah mengendarai kendaraan bermotor.
Tak lama setelah dipanggil, suara musik gamelan mengiringi atraksi topeng monyet yang digelar di halaman sebuah rumah tetangga. Dengan lincahnya sang monyet berlari-larian, melompat, meliuk-liuk beratraksi mengikuti instruksi sang pemilik yang mendampinginya sembari menarik-narik tali pengikat leher monyet, agar beratraksi mengikuti instruksi pemiliknya.
Memang menghibur sih, tapi miris juga melihat monyet itu tersiksa oleh rantai yang menjerat lehernya, ini tentu sangat menyakitkan bagi sang hewan. Apalagi leher manusia.