Seorang teman menuliskan chattingnya kepada saya akan apa yang dialaminya tadi pagi di lokasi tempat orangtuanya berjualan. Makassar (13/4/2019).
Dikatakan dalam chattingnya bahwa datang seorang  berjenis kelamin perempuan ke warung makan mie Jawa Solo mengaku sebagai pegawai Dinas Tata Kota, berperawakan sedang. Dikatakan dengan nada kasar tanpa tatakrama, "ditegaskan bahwa lokasi ini tidak bisa dijadikan tempat berjualan dan merusak tata kota."
Notabene warung Mie Solo Jawa Tengah yang beralamat di jalan Sungai Saddang sama sekali tidak menggangu parkiran, letak gerobak berjualan berada di dalam persil bangunan dan tidak mengganggu aktivitas umum. Lokasi parkiran terbilang cukup luas bahkan sama sekali tidak memakan bahu jalan.
Dikatakan pedagang mie jawa solo, "oknum memakai kendaraan sejenis SuV berwarna merah, sayangnya tidak sempat dicatat plat nomornya, namun apabila dalam proses berjualan ada yang kurang berkenan kami mohon diberikan penyampaian secara baik baik, bukankah abdi negara adalah melayani masyarakat." Katanya.
Sedangkan pemilik lahan atas nama Estelina sudah mengijinkan untuk berjualan dengan mengontraknya per tahun.
Dan warung legendaris ini telah berjualan disekitar sungai Saddang sejak tahun 1970 an bermula dari Sungai Saddang IV, namun karena lokasi dibangun ruko maka hijrah lah ke tempat sekarang sejak sebulan ini di jalan Sungai Saddang Lama  70, samping Warung Coto Sungai Saddang dan Kantor Aliyah, atau sebelum pertigaan  Jalan Sungai Saddang IV.
Aksi bar-bar ini menjadi perhatian Pemerintah Kota Makassar, khususnya Dinas Tata Kota. Sebagai rakyat kecil dan perantauan hanya melestarikan kearifan budaya kuliner lokal, khususnya Mie Jawa dari Solo Jawa Tengah.
Jangan biarkan penguasa menindas roda perekonomian rakyat kecil. Tontonan ini tak berfaedah di Era yang serba destruktif ini.
Fakta yang tak terbantahkan lagi di lapangan betapa masih adanya pemangku kepentingan sekarang berkata kata kasar, selain faktor lingkungan utamanya adalah jabatan dan materi.
Apa kita rela melihat pelaku ekonomi kerakyatan, seperti berjualan Mie dan Bakso Jawa asal Solo ini hancur, serta masa depan pendidikan suram, ditambah biaya hidup begitu mencekik leher.
Bukankah sebaiknya sebagai pemimpin berwawasan nusantara berusaha melayani masyarakat, sebab pemimpin abad ini adalah melayani bukan dilayani dan tidak suka ngamuk-ngamuk, apatah lagi kepapda rakyat. Ingat lumbung suara terbesar itu datangnya dari akar rumput.