"Kelaparan tak terjadi secara kebetulan, Namun diorganisasi oleh bisnis besar" (Bertolt Brech).
Ungkapan diatas menandaskan bahwa segala bentuk kelaparan tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan diorganisasi bisnis yang sengaja mengeruk keuntungan tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Saya tidak terkejut ketika mendapati langkanya minyak tanah sebagai bahah bakar rumah tangga dengan harga murah meriah. Kelangkaan itu disebabkan Pemerintah Pusat mewajibkan peralihan bahan bakar minyak tanah ke gas elpiji. Terakhir, harga minyak tanah terjangkau akar rumput hingga tak lagi terjangkau.
Awal-awal penggunaan gas elpiji baik ukuran 3 kilogram dan 12 kilogram berjalan lancar tanpa mengalami satu halangan. Puncaknya terjadi ledakan demi ledakan menghantui pengguna elpiji, khususnya pengguna tabung gas bersubsidi ukuran 3 kilogram. Masalah bertambah parah, tat kala menemui kelangkaan gas 3 kilogram. Bahkan tabung gas berwarna hijau muda berkarat tersebut tidak membiarkan ibu-ibu rumah tangga hidup adem, ayem, tentrem kerto raharjo. Kebocoran demi kebocoran tersebut dimanfaatkan beberapa pihak untuk membuat tender bisnis proyek karburator datang meneror.
Jika dulu penduduk desa menggunakan minyak tanah, kini mereka dipusingkan keberadaan tabung gas LPG ukuran 3 kilogram ini. Untuk mendapatkan satu tabung gas LPG 3 kilogram, awalnya Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah) saat ini dibanderol Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah) bahkan menyentuh angka 25.000 rupiah. Jadi lumrah saja, ada ibu-ibu rumah tangga marah-marah, atau didapati pedagang kaki lima memasang harga nasi goreng seharga hotel bintang lima. Atas kelangkaan ini diperkirakan para spekulan pandai menimbun barang subsidi, penyebab kelangkaan.
Orang-orang akar rumput hanya bisanya ribut-ribut, menuntut berdemonstrasi dipinggir jalan, malah dinilai perusak keindahan estetika kota, mereka dikatakan tidak beradab. Sementara penyelenggara negara tak ubahnya kaum diktator, kapitalis, menjumput uang rakyat. Tragisnya, orang miskin dan anak terlantar katanya "dipelihara" negara, nyatanya hanya menjadi tontonan kaum borjuis.
Mereka hanya menjadi sasaran empati yang ditayangkan dilayar televisi, beberapa diantaranya menjadi objek foto dengan tujuan untuk dicarikan donasi dan mengundang decak iba sekaligus keprihatinan.
Wong cilik atau kaum akar rumput ditakdirkan menambah dosa melalui proses ribut-ribut dimulut saja. Sementara penyelenggara negara ditakdirkan menjumput/mencuri uang rakyat, menikmati dan menghabiskannya.
Istri saya selalu bilang dengan nada kesal, "untung tidak kelaparan karena masih bisa masak, ini gara-gara keberadaan gas LPG mulai langka".
Makassar, 11 November 2017