KPK menetapkan tiga orang tersangka pasca operasi tangkap tangan, ketiganya adalah Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Pengusaha Amir Mirza Hutagalung, dan Wakil Direktur RSUD Kardinah Cahyo Supriadi. Mereka terlibat kasus suap dugaan dana pengelolaan jasa kesehatan RSUD Kardinah, Tegal, serta pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota Tegal tahun anggaran 2017.
Barang bukti operasi tangkap tangan sebesar 300 juta rupiah, diduga suap sudah terjadi sejak Januari 2017, yakni dari proyek Pengadaan Barang dan Jasa yang mencapai 5,1 Milyar rupiah. Bukanlah jumlah yang sedikit dan tentunya sangat menggiurkan. Ironisnya, uang ini yang rencananya akan digunakan sebagai dana Pemilihan Kepala Daerah (PIKLADA) 2018.
Sementara lima orang lainnya yang ikut terjaring masih didalami keterlibatannya dalam perkara ini. Rabu (30/8) sore, Siti, Wali Kota Tegal ini langsung digiring ke Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur cabang KPK. Siti mengaku menjadi korban Amir pengusaha sekaligus Ketua DPD Partai NasDem Brebes yang menjadi bakal calon pasangannya di Pilkada mendatang. Mau jadi apa negeri ini, baru bakal calon saja, pemimpinnya sudah berani melakukan penyelewengan anggaran, apalagi kalau sudah terpilih, akan lebih rakus menguras uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau dinastinya.
Berselang satu jam Amir Mirza ditahan di Polres Metro Jaya Jakarta Pusat, tak seperti Siti, justru Amir bungkam saat dimintai klarifikasi para wartawan. Dan Cahyo ditahan di rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur.
Korupsi telah merasuk ke segala lini termasuk Pemerintah Daerah yang terhormat. Guna memuluskan langkah menjadi pemimpin suatu daerah, tindak pidana korupsi dihalalkan. Korupsi saat ini seperti viral telah mencemari kebangsaan. Wajar, selain narkoba korupsi menjadi ancaman serius bagi eksistensi negara Indonesia.
Baru kali ini saya membaca berita, betapa merdekanya Pegawai Balai Kota Tegal begitu mendengar wali kotanya terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Saking otoriternya Siti Masitha Soeparno (Wali Kota Tegal) ketika memimpin, bukannya sedih atau menaruh rasa empati malah disambut gembira oleh sejumlah PNS setempat, yang kemudian melakukan sujud syukur. Tak hanya sujud syukur, Aparatur Sipil Negara (ASN) juga melakukan aksi cukur gundul di depan rumah dinas wali kota.
Diberitakan detiknews.com, menurut Khaerul Huda, mantan PNS Kota Tegal, dia bersama 12 rekannya menjadi korban kesewenang-wenangan Siti Masitha selama memimpin Kota Tegal. Dia dan rekannya di-nonjob-kan oleh Wali Kota Tegal akibat mengkritisi kebijakan pemerintah.
"Sejak awal kami telah kritisi Wali Kota karena dianggap tidak benar dalam tata kelola pemerintahan. Tapi, karena dia wali kota, kritik kami dibalas dengan nonjob," ujar Khaerul Huda.
Bangsa ini tidak hanya membutuhkan orang pintar dan otoriter terhadap bawahannya, kita juga perlu orang benar, arif nan bijaksana. Bahkan di masyarakat lebih baik menjadi benar tidak terlalu pintar, ketimbang pintar tapi tidak benar. Kalau pintar tapi otoriter, tidak mau mendengar pendapat bawahan, resah rakyat dibuatnya.
Inilah bukti konkrit betapa tidak bergunanya melakukan tindakan semena-semena terhadap bawahan. Begitu kesandung masalah, para bawahan bersuka-cita. Disayangkan upaya yang dimenangkan para bawahan Wali Kota Tegal terebut tidak mengembalikan jabatan mereka seperti sedia kala. Ibarat pisau tajam ke bawah tumpul ke atas. Kalau yang lemah salah hukum cepat-cepat ditegakkan, kalau yang besar mempunyai kedudukan tinggi bersalah pada diam pura-pura tidak mengerti, itu yang melukai rasa keadilan.
Sebagai penutup, saya mengutip kata-kata inspiratif SOE HOK GIE, (mahasiswa pejuang HAMÂ Tahun 1942-1969). "Tidak heran apabila masyarakat bawah menyebut bahwa pemimpin yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah, pemimpin bukan malaikat dan selalu benar, sedangkan rakyat jelata bukan kerbau. Masih terlalu banyak kaum munafik berkuasa, orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan, merintih kalau ditekan menindas kalau berkuasa."