(sumber gambar: http://gwaracom.blogspot.co.id)
Membahas Pacasilais, tak lengkap rasanya tanpa membahas pesatnya perkembangan teknologi informasi. Bisa jadi berkat TI saat ini kita salah kaprah memandang sejarah panjang Pancasila. Pancasila tidak sekedar lima sila. Pacasila merupakan Dasar Negara Indonesia.
Setelah mengalami sejarah panjang dan beberapa kali perombakan kalimat dari Rumusan Piagam Jakarta akhirnya lima sila dari Pancasila menjadi dasar Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini. Menjiwai Pancasila tidak lepas dari butir-butir Pancasila yang tertuang pada Dasar Negara, akan tetapi seiring perkembangan IT butir-butir tersebut terlupakan.
Pada masa lalu ketika kita masuk sekolah tingkat pertama hingga bangku kuliah P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) merupakan suguhan wajib. Sekarang Penataran P4 bertranformasi menjadi Masa Orientasi Sekolah (MOS) di tingkat SMP dan SMA. Dibangku kuliah dikenal dengan sebutan OSPEK. Dari kedua nama tersebut murid dan mahasiswa/wi baru diharuskan mengenakan aksesoris selayaknya orang gila, jika berontak, maka intimidasi sampai perlakukan kasar dari para senior halal dilakukan, tanpa sekalipun menyinggung P4 beserta butir-butir didalamnya. Walhasil anak-anak sekarang lebih mengenal gadget dan berbagai layanan Media Sosial baik itu whats app, twitter, path, telegram, facebook, line, cacao talk, twoodan lain-lain, tidak dipungkiri sekarang merajai dunia teknologi.
Sebenarnya kemajuan Teknologi Informasi sangat luar biasa manfaatnya, akan tetapi luar biasa juga mudharatnya yang menghantarkan kepada kehancuran generasi muda. Setidaknya kemajuan teknologi tersebut turut dinikmati orang tua, akan tetapi kalau kita tidak bisa memilahnya akan sesat dibuatnya. Parahnya, karena sosmed orang saling berselisih dan berkonflik, semua itu berasal dari kegunaan Informasi. Sampai-sampai pepatah ‘mulutmu harimaumu’,menjadi jempolmu adalah pedangmu.”
Sebagaimana diketahui pengaruh global teknologi akan mendatangkan identitas bangsa Indonesia yang materialistis, individualistis, vandalisme, anarkis, hedonisme. Jika kita tinjau dari sisi sosial saat ini adalah maraknya kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan disetiap wilayah di Indonesia masih banyak. Dari kemiskinan inilah seseorang yang tadinya taat beribadah nekat berbuat kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merampok sekalipun dilakoninya.
Munculnya aksi teror dan sikap intoleran yang ditunjukkan warga bangsa ini tidak hanya menunjukkan ada sesuatu yang harus segera dibenahi. Namun itu menyadarkan kita bahwa bangunan kebangsaan kita merupakan bangsa yang miskin iman dan taqwa yang senantiasa terus disemai dan dirawat dengan baik, agar tidak ada kesan mendadak Pancasilais, omong kosong itu.
Jadi imlplementasi Pancasila yang penting adalah bagaimana menumbuhkan rasa damai kepada masyarakat susah. Persatuan Indonesia merupakan bingkai NKRI, sebab Indoenesia saat ini terbuka bagi berkembangnya ideologi apa saja, termasuk ideologi yang tidak sepakat dan tidak sejalan dengan yang diinginkan para pendiri bangsa. Bagaimana mengembangkan rasa cinta kepada tanah air, rela mengorbankan diri demi bangsa bila dibutuhkan. Apalagi remaja saat ini melupakan lagu-lagu semangat nasionalisme kebangsaan. Lagu-lagu dewasa serta lagu-lagu mancanegara paling mendominasi.
Zaman pencaplokan wilayah melalui peperangan telah berakhir kemudian berubah menjadi pengaruh ideologi. Rebutan pengaruh ideologi pun sudah berakhir. Apakah kita sudah aman?. Belum. Yang terjadi saat ini adalah penguasaan suatu negara atas negara lain. Produk-produk luar telah membanjiri suatu negara, generasi muda dilemahkan melalui narkoba, hingga melemahkan keamanan pemicu konflik termasuk penyebaran isu melaui media sosial (hoax, hatespeech dan provocation).
Tidak dapat dibayangkan betapa kayanya kemajemukan Indonesia yang dihuni 257.000.000 juta penduduk, terdiri 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, memilki 1.158 bahasa daerah, 6 agama dan aliran kepercayaan, banyak golongan mengalami kehancuran jika anarkisme dibiarkan berpotensi konflik SARA, yang pada akhirnya meruntuhkan keutuhan bangsa sendiri.
Adu domba merupakan pemandangan sehari-hari di Negara Indonesia. Tawuran, konflik syarat akan kepentingan politik seseorang demi meraih keuntungan pribadi tidak dapat dihindari, gesekan-gesekan perbedaan pandangan merupakan tontonan gratis para rakyat. Bukan saja dunia nyata hal tersebut telah menjalar ke dunia maya, muncul istilah suka tidak suka, diskriminasi atas sebuah karya orang lain secara terstruktur, masif dan sistematis. Saya yakin blog keroyokan Kompasiana tidak terjadi diskriminasi itu. Itulah karakter orang indonesia yang selalu mengkritisi namun tidak mencoba untuk berkembang.