Produk serta swalayan milik asing telah meninabobokan Negara Indonesia. Tanpa sadar kita mematikan pasar tradisional milik bangsa sendiri. sebut saja Carrefour, Hypermart, Alfamart, Indomaret memanjakan mata kita dalam berbelanja tanpa ada yang menegurnya, baik hanya sekedar keliling sepuasnya dalam swalayan tidak ada yang marah-marah, bahkan secara profesional mereka meningkatkan layanan kenyamanan kepada konsumen dengan fasilitas mewah. Salah faktor keberhasilan bisnis asing inilah mampu memikat konsumen notabene orang Indonesia sendiri. Mudahnya investor-investor asing menanamkan sahamnya di Indonesia turut andil menyuburkan jaringan berbasis layanan tingkat dewa. Coba kita pergi belanja ke toko kelontong milik tetangga, baru masuk dalam kios sudah dicurigai, lebih-lebih tidak membeli barang dagangannya siap-siap menerima damprat dari pemilik toko, apakah ini Pancasilais. Bila kita mau menggunakan produk-produk lokal maka akan sangat luar biasa, masalahnya maukah kita berubah untuk menjadi profesional?
Kita membutuhkan persatuan yang sekaligus menyuburkan kesadaran keragaman serta memperkokoh landasan, pilar, dan atap bangunan negara yang aspiratif dan partisipatif. Kita ingin mendengar lebih keras dan lantang ungkapan kata ‘KITA’, bukan kami, saya atau kalian. Kita sebagai bangsa yang hidup di Negara Indonesia.
Sebagai penutup, saya mengutip kalimat bijak milik Pramoedya Ananta Toer, “Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan.”
Makassar, 10 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H