Sengitnya gejolak syarat akan kepentingan antara Masyarakat Adat Seko dengan korporasi kakap PT. Seko Power Prima perihal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) tentu mengundang reaksi berbagai publik. Saya turut prihatin akan tragedi berdarah di Seko Kabupaten Luwu Utara-Masamba sekaligus ingin menuangkan setitik goresan tinta pada blog keroyokan milik warga kompasiana.
Ini menarik diulas, dimana kedamaian Masyarakat Adat Seko yang selama turun temurun seketika terusik. Konon katanya ketenangan itu diobrak-abrik proyek raksasa berbasis listrik tenaga air. Otomatis Masyarakat Adat di tiga desa di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara-Masamba Provinsi Sulawesi Selatan menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Alasan penolakan ini dinilai warga karena lokasi yang akan dilalui adalah hak ulayat adat masyarakat setempat. Rencananya akan dibangun pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 380.000 mega watt oleh PT Seko Power Prima.
Ketiga desa yang menolak pembangunan ini yakni warga Desa Tana Makaleang, Desa Oyane, dan warga desa Embonatana. Mereka menolak rencana dengan alasan lahan yang akan dilalui proyek ini yang dinilai warga adalah tanah Ulayat atau hak milik warga seko yang masih dikelola secara produktif oleh warga dan mereka tidak ingin ada pihak yang masuk untuk mengelola lahan mereka tanpa ada izin dari perangkat adat.
“Kami banyak yang menolak karena lahan yang dilalui ini adalah lahan yang produktif, sudah tidak ada lahan yang bebas atau pembebasan lahan untuk pihak perusahaan, jadi biar bagaimanapun kami tidak bisa membiarkan lahan itu digunakan.”Ujar Yosef Kondong warga Seko.
Perjuangan warga Adat Seko untuk menolak pembangunan PLTA ini telah berlangsung sejak dua tahun terakhir dan sempat terhenti dengan adanya keputusan pihak perusahaan untuk tidak melakukan aktivitas. Namun dalam bulan ini Pemerintah bersama pihak Perusahaan kembali ingin melanjutkan rencana awal tersebut. Akibatnya Masyarakat Adat Seko kembali menolak tanpa syarat. Upaya negoisasi terus dilakukan oleh sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah setempat dan Polri namun tak dapat diterima oleh masyarakat Adat Seko Luwu Utara Masamba.
Penolakan dilancarkan berbagai ormas dengan menggelar aksi unjuk rasa di Kota Makassar dan Palopo baru-baru ini. Harapannya Pemkab Luwu Utara saat ini ialah mengevaluasi kembali ijin perusahaan, karena biar bagaimana pun ada hak warga Seko yang merasa dilanggar serta memberhentikan proses pekerjaan perusahaan dimana di Seko saat ini perempuan menjadi ujung tombak pergerakan pergerakan penolakan PLTA. Dilansir koran SINDO Sulselbar, Mahfud Yunus (Ketua DPRD Luwu Utara) menanggapi hal ini berbeda, menurutnya, “Bahwa sebenarnya tidak ada penolakan warga di Seko khususnya mereka yang bermukim dan terkena dampak rencana pembangunan PLTA. Bahkan dia menuding ada pihak-pihak tertentu yang memprovokatori warga di Seko dan ormas tertentu untuk melawan proyek ini.”Tandasnya.
“Untuk itu Mahfud berupaya akan mempertemukan ke tiga pihak, masyarakat/warga Seko, Pemkab Luwu Utara dan investor,” imbuhnya.
Pemerintah harus memberi contoh kepada masyarakat, bukan menjarahnya. Intimidasi seharusnya tidak boleh terjadi menimpa rakyat sipil, jika media baik konvensional maupun online berperan sebagai penyambung lidah, dapat dijadikan sarana berkomunikasi antara inverstor, pemerintah setempat, masyarakat adat dan pihak-pihak terkait lainnya ketika suasana sudah tidak kondusif. Dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak baik dan buruk atas pembangunan PLTA, sehingga saling menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan ketentuan daerah-daerah tertentu.
Peran stakeholders juga jangan dilupakan. Pemerintah harus tetap melibatkan dan menjaga komunikasi kepada stakeholders dan masyarakat agar mereka dapat ambil bagian dalam proses pembangunan PLTA. Kalau sudah begini siapa untung, dan siapa buntung atas konflik di Seko?
Pada gejolak ini tersingkaplah tabir bahwa masyarakat/warga sebagai tumbal, lemah dan tertindas.
Makassar, 18 April 2017