Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ragam Perubahan Wajah Desa Simbol Kemakmuran

20 Februari 2017   09:02 Diperbarui: 20 Februari 2017   09:24 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah tujuh tahun lalu tidak cuti untuk mudik pulang kampung. Perubahan drastis di desa sekarang begitu pesat, ini seiring adanya program satu milyar untuk satu desa, diakui program Kementerian Desa tersebut terbilang sukses, dimana-mana pembangunan begitu marak, mulai Talud, Gapura desa serta infrastruktur penunjang transportasi berupa jalan TOL.

Tidak kalah penting adalah Perumahan seperti di kota Metropolitan, mulai merambah desa-desa yang masih menyisakan begitu luas lahan perumahan denga harga bersaing. Kemajuan-kemajuan pembangunan memang sangat memudahkan akses antar desa, yang tadinya berlumpur kini mulai dipadati oleh pavling block hingga betonisasi. Dibalik kesuksesan tadi tentu menyimpan kecemasan, khususnya para petani, awalnya biasa melihat banyak bentangan sawah, kini zamrud katulistiwa itu relatif berkurang, tergantikan model pembangunan kota memodernisasi desa. Dampaknya mau-mau tidak mau sumur tanah/sumur bor tercemar oleh pembangunan, segala rupa pupuk turut mempengaruhi akan kesehatan konsumsi air bersih.

Sedikit banyak hal ini mempengaruhi hasil panen petani yang masih mengandalkan padi sebagai penyambung hidup. Belum lagi ditambah merosotnya harga beras tatkala musim penghujan datang, begitu tidak sebanding dengan kristalisasi keringat petani berjibaku memanen padi. Maraknya pembangunan desa mulai meniru pola hidup kota, bak urbanisasi keberadaan salah satu sarana transportasi konvensional seperti sepeda pancal bermigrasi menjadi kendaraan bermotor roda dua.

Pejalan kaki dan sepeda pancal di desa lebih di dominasi orang tua dan buruh tani yang enggan beranjak menggunakan kendaraan bermotor, berat untuk mengkredit alasan utama buruh tani beralih ke transportasi bermesin. Tidak seramai dahulu kebiasaan berjalan kaki juga langka dan dianggap aneh. Sekiranya wajar seiring perubahan zaman semakin tua, transportasi bertambah moderen dan solusi paling cepat adalah dengan menggunakan motor bahkan mobil.

Beruntung, di Desa saya meski sedikit pemandangan petani naik sepeda masih dijumpai, asal bisa menuju ke sawah sepeda masih menjadi pilihan terbaik. Rupanya tidak berhenti disitu saja, saking gencarnya pembangunan infrastruktur berupa jalan ring road dan jalan tol dengan tujuan mempermudah arus kendaraan, korban berikutnya adalah Angkutan Umum Desa akrab disebut Angdes, mau tidak mau turut gulung tikar akibat mudahnya membeli kendaraan bermotor roda dua baik kredit maupun cash.

Dikatakan mudah, cukup membayar uang DP 500 ribu rupiah, KTP serta fotocopy Kartu Keluarga, motor sudah bisa dibawa pulang. Pembayaran kredit berikutnya dengan cara dicicil dua kali selama musim panen tiba. Bertepatan cuti tahun 2017 ini musim panen padi telah tiba, sehingga dengan mata kepala melihat langsung jerih payah buruh tani berjibaku memanen padi, demi melunasi kendaraan bermotor.

Sialnya banyak diantara orang tua berprofesi sebagai buruh tani baik pria dan wanita memilih naik sepeda. Sementara anak-anaknya bahkan petani lain lebih memilih membeli motor sebagai sarana sehari-hari, selain cepat kehadiran motor setiap rumah di Desa bentuk ragam perubahan wajah desa, simbol kemakmuran kaum tani itu sendiri.

Ngawi, 10 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun