Tidak ada yang salah dengan kalimat hidup tak selamanya sesuai keinginan, yang salah ketika keinginan tak sesuai kehidupan, lantas potong kompas untuk mencapai suatu keinginan. Ini dikarenakan dalam proses awal penciptaan manusia ditiupkan nyawa satu paket dengan hawa nafsu birahi. Lain halnya penciptaan malaikat diciptkan dari nur tanpa paket nafsu birahi, sehingga apapun perintah Tuhan pasti akan dilaksanakan.
Tidak demikian dengan manusia, hanya segelintir yang sanggup memenuhi perintah Tuhan, jangankan sang Pencipta perintah pimpinan pun terkadang diabaikan, dengan alasan anak/keponakan/cucu/cicit dari pemilik perusahaan atau pimpinan sebuah institusi, akibatnya berpolah semaunya, masuk kerja sekehendak hati, berbicara seperti Tarzan tanpa pikir panjang bahwa saat itu bukan berada di tengah hutan belantara. Jauh dari rasa tepo sliro di sebuah perusahaan/instansi pemerintah. Ketika pimpinan dinas luar dia pun tidak masuk kerja atau sengaja terlambat menuju tempat kerja. Kasihan sekali negara menganggarkan gaji guna membayar SDM seperti ini.
Kita tinggalkan keliaran SDM yang membanggakan dekeng ini, biarkan saja menikmati pengaruhnya, selagi masih diberi nafas kehidupan. Kini kita fokus ke persoalan rendahnya minat baca, lantaran pusat-pusat baca di negara berkembang seperti Indonesia mengalami penurunan pengunjung. Perkembangan teknologi informasi tersebut begitu memanjakan user memperoleh informasi melalui dunia internet.
Adanya om google buku-buku seakan hanya pajangan penghias rak perpustakaan tanpa sentuhan tangan pembaca, tragisnya perpustakaan sebagai tempat baca mulai dialih fungsikan sebagai gudang atau tempat ngobral-obrol ngalor-ngidul sehingga kesakralan perpustakaan sebagai tempat baca terbilang mitos hoax belaka.
Jeblognya tata krama di negeri ini mulai nyata seiring perkembangan pembangunan ibukota kian menggila. Sarana dan prasarana perpustakaan mencerdaskan kehidupan bangsa sia-sia, lahirkan kebodohan moral.
Merawat perpustakaan itu ibarat merawat organ intim perempuan tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran ekstra, untuk menambah daya pikat pasangannya. Dimana daerah ‘intim’ merupakan salah satu organ kehormatan perempuan. Oleh sebab itu, kebersihannya selalu dijaga. Namun bagaimana jika organ intim tiba-tiba mengeluarkan aroma kurang sedap? Begitu pula perpustakaan, bila kondisinya jorok, beraroma kurang sedap tentu akan dijauhi peminat baca.
Hal pertama dilakukan tentu dengan segala cara menghilangkan aroma tak sedap dari dalam perpustakaan. Cara tepat membersihkan area intim dengan membasuh vulva (bagian luar bagian intim) setia hari dengan pembersih khusus kewanitaan.
Sebaliknya hindari menggunakan sabun yang bukan diformulasikan untuk area kewanitaan. Merubah stigma negatif perpustakaan hal pertama dilakukan pelayanan ramah. Hilangkan bau tak sedap di perpustakaan, bersihkan ruang setiap hari dengan pengharum ruangan, taburi fungi (anti jamur) pada rak-rak buku agar tidak “dibaca” kutu busuk, kebiasaan buruk ngobrol diganti kebiasaan membaca bahan pustaka.
Kehidupan di perkotaan banyak menawarkan kenikmatan bagi penggemar shopping, kongkow-kongkow, kaum sosialita di Mall, bioskop. Tata ruang nyaman perpustakaan bukan jaminan tamu sudi berkunjung. Tembok-tembok beton hanya kita temui gedung-gedung serba guna, hotel, rumah toko, pusat grosir. Porsi pembangunan gedung perpustakaan tak sebanding dengan kehidupan hedonisme. Celakanya tidak hanya masyarakat perkotaan akan tetapi masyarakat pedesaan yang tadinya tidak pernah menginjakkan kaki ke Mall, mau tidak mau harus ke sana dalam mencari kesenangan, menjadikan pengunjung perpustakaan antara hidup segan mati tak mau. Tidak menampik ada perpustakaan memberlakukan sistem buka tutup hanya karena “kesepian” pengunjung.
Tak banyak, akan tetapi ketersediaan ruang-ruang baca setidaknya masih bisa terdeteksi keberadaannya dibeberapa lokasi. Ada namanya perpustakaan umum, perpustakaan kampus, perpustakaan masjid, Perpustakaan perseorangan, taman baca masyarakat, perpustakaan sekolah hingga perpustkaan khusus lembaga, paling memprihatinkan keberadaan perpustakaan khusus lembaga, koleksinya berdebu, tak terurus, terbengkalai itu mutlak adanya.
Mengapa saya berani bilang demikian, faktanya banyak orang-orang menuntut lebih atas fasilitas perpustakaan, nyatanya saat ini mendengar kata “perpustakaan” saja pura-pura bolot, normal mendengar ketika perpustakaan tersedia anggaran, usai itu tuli lagi. Dibutuhkan kontrol debu dan kontrol manusia untuk menjaga kelestarian bahan pustaka. Sebagai petugas perpustakaan tak jarang merasa sedih dengan keberadaan gedung-gedung perpustakaan, mewah berdiri, fasilitas lengkap, akan tetapi lengang pengunjung. Sementara masyarakat menuntut ragam sarana prasarana perpustakaan di tingkatkan.