Libur natal kali ini kami manfaatkan mengunjungi tempat bersejarah ke komplek Pemakaman Pangeran Diponegoro. Sebagai wartawan tanpa bayaran ini bermaksud agar anak-anak kita mengenal Pahlawan Nasional yang telah berjuang merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajahan Belanda, bagi saya wajib hukumnya membawa anak-anak berlibur ke tempat-tempat yang penuh histori, ketimbang pergi ke tempat mudorat kurang bermanfaat bagi perkembangan psikis masa depan anak cucunya kelak.
Kali ini kami terpaksa menunggangi pete-pete (angkutan umum), disebabkan belum ada jalur BRT untuk mencapai makam Pangeran Diponegoro. Melintasi Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Urip Sumohardjo, Jalan Bawakaraeng terakhir Jalan Andalas depan Masjid Raya Makassar, langkah selanjutnya kami naik becak atau bentor (becak motor).
Ditengah perjalanan kami sedikit mengalami insiden kecil karena pengemudi pete-pete yang ugal-ugalan dan belum cukup umur, alhamdulillah tidak terjadi apa-apa, akan tetapi sang sopir kurang memperhatikan keselamatan penumpang, celakanya apabila sopir tersebut kita tegur untuk mengurangi laju pete-petenya malah lajunya dikasih kencang/ngebut, tak ayal dibutuhkan kesabaran ekstra apabila naik pete-pete. Tidak semua pengemudi pete-pete ugal-ugalan itupun hanya hitungan jari.
Perayaan natal serta umat kristiani pergi ke gereja membuat jalanan lumayan lengang cuaca pun agak bersahabat, meski begitu tidak serta merta membuat sopir pete-pete sudi melambankan lajunya, dasar bebal!
Raden Mas Ontowiryo merupakan nama kecil Pangeran Diponegoro, dikenal juga Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Kabiril (Mukminin Sayidin Panata Agama Kalifatullah Tanah Jawa) Putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono-III dan ibunya bernama R. Ayu Mangkarawati Putri, lahir di Pacitan anak dari Bupati di Pacitan pada masa itu.
Lebih jauh R. Hamzah Diponegoro menjelaskan, “Pada saat ayahnya jatuh sakit beliau menunjuk Diponegoro sebagai raja, tetapi kondisi saat itu tidak memungkinkan dia menjadi raja karena pada saat itu Belanda menerapkan sistem militerisasi artinya semua tindakan itu harus masuk dalam sistem tidak mungkin diluar daripada sistem sehingga semua kerajaan yang ada di nusantara harus melakukan komunikasi artinya kerjasama antara Belanda dengan kerajaan dan harus berada dalam struktur. Struktur itu adalah protap yaitu adanya peraturan yang mengikat. Sehingga dengan kondisi itu Pangeran Diponegoro menolak menjadi Raja, karena beliau lebih memilih menjadi tokoh agama. Karena Raja dengan tokoh agama itu tidak sinkron. Karena ini merupakan regenerasi akhirnya beliau menyerahkan jabatannya kepada adindanya yaitu Raden Mas Djarot yang kemudian menjadi Hamengkubuwono ke-4.”Jelasnya.
Karena pihak Belanda tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, maka digunakan cara licik dengan mengundang Pangeran Diponegoro dengan jaminan kekebalan diplomatik yaitu, bila perundingan gagal maka maka Pangeran Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman. Namun kekebalan diplomatik tersebut dikhianati oleh Pimpinan tentara Belanda.
Perundingan diadakan di Magelang pada 28 Maret 1830, lalu ditangkap dibawa ke Batavia ditahan di Staad Huico, kemudian pada 30 April 1830 dibuang/diasingkan ke Manado selama 4 tahun dan kemudian dipindahkan ke ruang tahanan Fort Rotterdam di Ujung Pandang (Makassar) selama 21 tahun pada saat itu berumur 71 tahun.