Sungguh menggelitik hati saya pesan moral ini, tatkala reformasi birokrasi berekembang menjadi masa pancaroba, sosok manusia (warga) seputaran komplek perumahan kami malah memicu kegeraman, sehingga memunculkan ide super kreatif penuh amarah, kutukan atas perbuatan pembuang sampah sembarangan.
Dimana lisan sudah tidak begitu manjur alias mempan, maka kritik dari spanduk ini merupakan aktualisasi yang sangat relevan. Andai masih ada oknum acuh akan keberadaan pesan tersebut, sudah dipastikan oknum ini dipastikan buta aksara atau memang bebal otaknya.
Sakit hati merupakan ungkapan relevan bagi pembuat spanduk ini, akan tetapi tidak sesakit hati melihat kepatahan sayap Garuda dilibas 2-0 di kandang Gajah tanpa balas, kira-kira seperti sejarah sejak menggunakan sistem home and away tim yang meraih kemenangan di leg pertama akan keluar sebagai yang terbaik di Asia Tenggara, faktanya tidak untungkan Timnas Garuda. Sebut saja Indonesia sebagai JUARA TANPA MAHKOTA.
Walau begitu, sampai hari ini masih ada terlihat onggokan sampah yang dikemas dalam kresek dengan bau begitu menyengat hidung, tetapi karena bebal atau jaga wibawa, maka segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita adalah orang-orang bebal yang tidak taat pada sebuah slogan yang menghiasi keseharian rutinitas kita sebagai makhluk paling bijaksana.
Jika terus-terusan begini, tidak mengubah cara kita berfikir dan berbuat ala feodal. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan indonesia ialah juga untuk membebaskan orang indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan warga sekitar lorong tak bertuan tersebut. Sampah memang meresahkan akan tetapi budaya buang sampah sembarangan akan selalu menimbulkan masalah baru, khususnya lingkugan sekitar tempat pembuangan sampah.
Cukup diakui tidak semudah membalikkan telapak tangan, cara memilah sampah dan limbah rumah tangga, yang paling sederhana adalah dengan memberi contoh, tidak hanya koar-koar ala sendal jepit di muka seminar, tapi mereka membuang sampah sembarangan. Diperlukan relevansi kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan.
Sanksi tegas terhadap para pembuang sampah sembarangan merupakan contoh konkrit pemerintah. Tanpa melihat siapa dia, apa jabatannya! sebab hukum di indonesia ini selalu tajam ke bawah, tumpul ke atas memihak pemegang Kepentingan sedang rakyat jelata merupakan“tumbal” pemilik kepentingan. Parah !!!
Mengutip kalimat BUYA HAMKA“Kalau hidup sekedar hidup, Babi di hutan juga HIDUP. Kalau bekerja sekedar bekerja Kera juga BEKERJA.”
Makassar, 18 Desember 2016