Konstruksi berpikir manusia modern rupanya sudah digerogoti oleh ilusi tentang kejahatan dan pengkhianatan. Akibatnya terjadilah kekerasan seksual terhadap anak tidak mengenal status DNA baik anak tiri maupun anak kandungnya sebagai korbannya. Agak tidak masuk akal sehat ada seorang Ayah susah payah membesarkan bersama istrinya, lalu tega memperkosanya secara keji berlangsung cukup lama. Tetapi, sekali lagi, ilusi kebinatangan dalam diri telah terkonfirmasi oleh budaya massal yang terus terproduksi di ruang-ruang publik dan terutama melalui televisi dan internet.
Pemerkosaan yang dilakukan pejabat eselon IV terhadap staf honorer hingga jasadnya di kubur hidup-hidup dalam septik tanc di susul pemberitaan pemerkosaan ayah kandung terhadap anaknya sendiri, merupakan contoh konkrit betapa rendahnya moralitas bangsa kita, tanpa ada implementasi nyata di kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebuah contoh sikap (attitude) terburuk untuk dipertontonkan, entah saya harus tertawa apa harus menangis menyaksikan rentetan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak perempuan terus menerus berlangsung, tidak pandang tempat dan waktu seolah enggan berlalu memberi ruang gerak kedamaian bagi anak-anak dan perempuan.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidakadilan hukum yang berlaku di Indonesia seperti “pisau” tajam ke bawah tumpul ke atas.
Lantas, janji syurga apa yang akan di wujudkan pemerintah untuk serius menghentikan bahaya laten kekerasan seksual dan KDRT terhadap anak perempuan ini selain “sibuk” memberantas tindak pidana korupsi?
Makassar, 28 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H