“Speechless”
(Nukilan)
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak, bagai wabah mengerikan bergentanyangan di sekitar kita. Jenis kriminal ini sering terjadi dilatar belakangi oleh kedekatan pelaku terhadap korban dalam kehidupan bermasyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri pelaku utamanya adalah orang terdekat seperti tetangga atau seseorang yang mengenal betul calon mangsanya demi memenuhi kebutuhan seksualnya lalu dihabisi.
Maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya anak-anak memang cukup mengundang kemirisan, disini faktor tumbuh kembang psikologis anak dipertaruhkan. Perbuatan bejat 14 pria terhadap Yuyun seorang siswi SMPN 15 Kecamatan Padang Ulak Tanding Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu berusia 14 tahun sudah terjadi, “nasi sudah menjadi bubur” disayangkan negara seperti terlambat hadir membantu korban, apabila tidak terendus media. Itu berbanding terbalik dengan kasus-kasus “kakap” yang merugikan negara triliunan rupiah, sekonyong-konyong penegak hukum bergerak mencekalnya, dengan alasan “negara” mengalami kerugian, apakah mungkin perlu dipertanyakan penyababnya apa karena Yuyun kaum pinggiran tinggal dipelosok kampung jauh dari hiruk-pikuk “ibukota”, dan kita butuh uang atau karena kebutuhan (sosialita) baru peduli turun tangan, korban ditemukan tewas tanpa busana di jurang pinggir hutan sedalam 5 meter, atau karena keluguan keluarga korban sehingga hukum lamban memberi hukum terhadap para pelaku.
Tidak tahu lagi saya mau apa?, menetes eluh dari mataku jika menulis hal-hal berbau anak-anak, apalagi saya seorang orang tua/bapak memiliki anak, selalu was-was apabila mendapati anak perempuan terlambat pulang sekolah atau bermain kelewat larut. Ada apa dengan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, apa ada semua di bualan Mei, identik dengan rentetan peristiwa mencekam datang silih berganti tanpa usai. Belum hilang pemberitaan pembantaian profesi seorang dosen USMU belakangan diketahui pelakunya adalah mahasiswanya sendiri, gara-gara skripsi bu dosen dihabisi.
Kini, kita dikejutkan oleh pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak bernama Yuyun usia 14 tahun digilir 14 pria penjahat asusila, lalu membuangnya di hutan seperti “habis manis sepah dibuang” sangat tidak berprikemanusiaan dan berprikeadilan membunuh anak-anak tanpa dosa hanya untuk memenuhi nafsu birahi. Diluar logika saya, salah satu dari pelaku pura-pura bodoh, amnesia terhadap kejadian tersebut dan turut bersama warga mencari jasad Yuyun, benar-benar biadab pria seperti ini, ingin sekali saya membakarnya hidup-hidup tepat di hadapan keluarga korban. Brengsek!!!
Kekerasan seksual merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai kekerasan struktural. Kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat dipungkiri adalah sisi lain dari ketidakadilan keseharian yang kerap kita jumpai dalam bentuk-bentuk diskriminasi, pemaksaan, pembungkaman dan penindasan. Yang dialami Yuyun mengingatkan kita bahwa pembelaan terhadap kekerasan keseharian harus tetap dilakukan tanpa henti, sebab kenyataannya perempuan belum pernah bebas dari jerat kekerasan. Penggalan lirik lagu ciptaan Titiek Puspa “Wanita dijajah pria sejak dulu”, mengingatkan betapa lemah dan naif terhadap pola pikir kita ketika perempuan selalu menjadi obyek kehidupan yang diperlemahkan. Anak-anak khususnya perempuan dalam keseharian diperlakukan sebagai bagian lain dari realitas sosial yang diskriminatif. Kenaifan kita bahwa perempuan telah menjadi kelompok manusia yang bebas di abad moderen ternyata belum pernah terbukti. Bahkan kegagalan para intelektual dalam proses keberpihakannya patut dipertanyakan, sebab glorifikasi terhadap kekerasan seksual yang dianggap sebagai “kesalahan perempuan” atau “dasar suka sama suka” telah membunuh bathin dan nurani kita sebagai manusia.
Kekerasan seksual ataupun kekerasan terhadap manusia tidak akan berhenti selama kehidupan sehari-hari jauh dari perilaku hidup yang bermakna bagi manusia. Dengan demikian, komitmen-komitmen kemanusiaan harus tetap terjaga. Karena tidak terpenuhinya tempat aman serta nyaman sekiranya pantas saya menyebut Indonesia rawan kejahatan moralitas.
Kedua tragedi berdarah tersebut diatas seperti mengaburkan perhatian panggung politik dengan kasus-kasus korupsi, narkoba dan suap reklamasi pantai. Wow keren sekali!!! Ada apa dengan pemilik negeri ini, sampai-sampai berseloroh “tidak tahu” atas duka nusantara. Lantas? Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menghukum sampah masyarakat seperti 14 pria bejat ini.
Hhem!!!, berdiri bulukudu saya melanjutkan menulis kejadian-kejadian luar biasa menimpa bocah seusia Yuyun, ditemukan tewas tanpa busana sebagaimana maraknya pemberitaan di portal online. Di negara PANCASILA ber-BHINNEKA TUNGGAL IKA kebaikan justru melahirkan beberapa pelaku kejahatan seksual, pedofilia, bullying, pembunuh, diskriminasi, kriminalisasi, secara brutal bergerak pesat. Konstruksi berpikir manusia modern rupanya sudah digerogoti oleh ilusi tentang kejahatan dan pengkhianatan. Bangsa ini krisis super hero, orang-orang yang berjuang keras menegakkan nilai-nilai kebenaran tidak punya tempat lagi di negeri ini. Mereka seperti terbuang dalam kemalangannya, dimana sebuah peristiwa kekerasan seksual terhadap anak, lokasi begitu jauh dari sebuah “ibukota” menjadikan “sebagian” manusianya berlaku kasar, gelap mata, dalam memberlakukan slogan “STOP KEKERASAN TERHADAP ANAK”seperti tidak pernah berakhir. Kira-kira di tempat yang semacam itulah, super hero bangsa ini terjerembab.
Indonesia berlibur, kejahatan tidak mengenal istilah libur. Peristiwa pemerkosaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat mengindikasikan bahwa induksi kejahatan kian merajalela merusak moral bangsa. Mereka tidak menyadari persepsi moral ini akan mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan korban semakin tertindas. Di antara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Data komnas perempuan: 2013 menyebutkan “setiap dua jam tiga perempuan indonesia mengalami kekerasan seksual”.