Dikutip dari artikel CNN
Seorang dokter gigi di Bali ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan malpraktik aborsi kepada 1.338 perempuan hamil. Awal malpraktik dilakukan oleh I Ketut Arik Wiantara (53) pada tahun 2006 - 2023. Pelaku melakukan praktik aborsi tersebut di rumah pribadinya di daerah Badung, Bali. Dalam melakukan aksinya, pelaku menetapkan tarif biaya sebesar Rp 3,8 juta/pasien.
Polisi melakukan penangkapan pada 8 Mei 2023 usai mendapat laporan dari warga setempat. Saat dilakukan penangkapan, tersangka baru saja melayani seorang pasien yang kemudian diperiksa sebagai saksi. Setelah diamankan oleh kepolisian, Ketut mengaku mempelajari ilmu praktik aborsi secara otodidak melalui internet dan buku. Bahkan, peralatan yang digunakan untuk mendukung praktiknya dibeli melalui e-commerce.
Rata-rata kandungan pasien yang diaborsi dalam rentang usia kandungan 2-3 minggu, dimana janin tersebut masih berbentuk gumpalan darah. Setelah melakukan aborsi, pelaku membuang gumpalan darah tersebut ke dalam kloset kamar mandi rumahnya. Motif pelaku melakukan praktik tersebut dikarenakan rasa kasihan terhadap pasien yang masih berstatus pelajar SMA dan mahasiswa.
Setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa pelaku pernah melakukan kejahatan sebelumnya dalam kasus yang sama pada tahun 2006 dan telah dihukum 2,5 tahun penjara. Tersangka kembali mendekam di penjara selama 6 tahun sejak 2009 dengan kasus yang serupa.
Menurut Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Bali, pelaku tidak pernah terdaftar dalam keanggotaannya. Pelaku juga tidak pernah mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) serta Surat Izin Praktik (SIP) dokter gigi kepada PDGI.
Kepolisian juga sudah berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hasilnya, Sekretariat IDI Bali menyatakan pelaku bukan merupakan seorang dokter kandungan melainkan dokter gigi. Pelaku merupakan dokter gigi, namun tidak terdaftar dalam IDI. Justru tersangka tidak melakukan praktiknya sebagai dokter gigi dan melakukan praktik secara ilegal.
Barang bukti yang disita berupa satu unit ponsel, uang tunai sebesar Rp 3,5 juta, buku catatan yang mencatat data pasien, sebuah alat USG, satu unit dry heat sterilizer dengan fitur ozon, satu set tempat tidur yang dimodifikasi dengan penopang kaki dan sprei, peralatan kuresa, obat bius, serta obat-obatan lain yang digunakan setelah prosedur aborsi.
Pelaku dijerat dengan beberapa pasal hukum, yaitu Pasal 77, Jo Pasal 73, Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, yang mengancam hukuman penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 150 juta. Selain itu, pelaku juga dijerat dengan Pasal 194, Jo Pasal 75, Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, yang mengancam hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar.
Kasus ini merupakan suatu kejahatan serius yang melibatkan praktik aborsi ilegal yang berpotensi membahayakan nyawa perempuan yang sedang hamil dan melanggar hukum di Indonesia. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pentingnya mengetahui Perlindungan Kesehatan bagi Perempuan, Â praktik aborsi ilegal berpotensi mengancam kesehatan dan nyawa perempuan yang terlibat. Kesehatan reproduksi dan hak perempuan untuk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang aman dan legal harus diprioritaskan. Kasus ini menyoroti pentingnya regulasi yang ketat dalam praktik kedokteran. Pelaku tidak hanya melakukan praktik ilegal tetapi juga tidak memiliki izin yang diperlukan untuk praktik kedokteran. Â Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) harus memastikan bahwa semua anggotanya mematuhi standar etika dan regulasi yang berlaku.
Aborsi diatur dalam pasal 60 dan ketentuan pidananya diatur dalam pasal 472. setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan kitab undang-undang hukum pidana. dalam UU terkait aborsi ada tiga kriteria, pertama aborsi diperbolehkan dan hanya dilakukan oleh tenaga medis, kedua aborsi dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan, dan tiga aborsi dilakukan dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dengan persetujuan suami.
Upaya untuk memberikan pelayanan medis yang layak terkait praktik aborsi legal tentu perlu diapresiasi. Namun, legal atau tidak legalnya praktik aborsi akan selalu menjadi pandangan yang berseberangan. sebenarnya praktik aborsi yang tidak bertanggung jawab dan tidak layak dari segi praktik medis, hanya akan selalu merugikan perempuan. karena aborsi yang tidak sesuai dengan standar yang benar, akan menyebabkan perdarahan hebat yang mengancam keselamatan jiwa pasien, hal ini akan menimbulkan beberapa resiko yang mungkin bisa terjadi seperti gangguan kesuburan dan kehamilan di masa depan, serta rusiko kesehatan bagi ibu dan bayi, serta dapat menimbulkan resiko kejiwaan masalah mental.
Dalam kesimpangsiuran antara pro dan kontra aborsi yang belum menemukan jalan tengah, tampaknya perempuan masih belum memiliki jaminan dalam perlindungan kesehatan, baik fisik maupun mental.
Dalam kajian ilmu hukum dikemukakan bahwa selain norma hukum, terdapat juga norma lain yang turut menopang tegaknya ketertiban dalam masyarakat yang disebut norma etika. Norma etika dari berbagai kelompok profesi dirumuskan dalam bentuk kode etik profesi. Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi dan disusun secara sistematis. Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda-beda satu sama lain. Kode etik berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan pihak lain, pencegah kesalahpahaman dan konflik, sebagai kontrol apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban. Tujuannya untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian para anggota, meningkatkan mutu profesi dan organisasi, meningkatkan layanan, memperkuat organisasi, menghindari persaingan tidak sehat, menjalin hubungan yang erat para anggota, dan menentukan baku standarnya.Â
Pasal-pasal dan Undang-Undang tentang tindakan malpraktik :
Di Indonesia, tindakan medis yang melanggar standar profesi medis dan berpotensi menyebabkan cedera atau kematian pasien diatur oleh beberapa peraturan dan undang-undang, termasuk :
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran: UU ini mengatur praktik kedokteran di Indonesia dan memberikan landasan hukum untuk penegakan standar etika dan profesionalisme bagi dokter.
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit: UU ini memberikan ketentuan tentang tata cara pelayanan kesehatan di rumah sakit, termasuk prosedur dan tanggung jawab terkait pelayanan medis.
- Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek: Regulasi ini menetapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang meliputi tindakan-tindakan yang diizinkan oleh petugas farmasi.
- Kode Etik Kedokteran Indonesia: Meskipun bukan hukum formal, kode etik ini menetapkan standar perilaku profesional bagi dokter, termasuk tanggung jawab terhadap pasien dan penegakan standar medis.
- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 669 K/Pid.Sus/2013: Putusan ini merupakan salah satu putusan yang relevan dalam menentukan malpraktik medis di Indonesia, meskipun tidak secara langsung merupakan undang-undang. Putusan ini mengatur beberapa prinsip dasar terkait dengan penilaian tindakan malpraktik oleh pengadilan.
Pasal tentang praktik kedokteran :
- Pasal 75 Ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang tanggung jawab hukum dalam praktik kedokteran. Ayat tersebut menyatakan bahwa: "Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien atau masyarakat wajib memberikan ganti rugi."
- Pasal 77 Ayat (1), UU No. 29 Tahun 2004, Pasal ini mengatur tentang sanksi administratif bagi dokter yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam praktik kedokteran. Berikut adalah bunyi Pasal 77: "Setiap dokter yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif."
- Pasal 73 Ayat (1), UU No. 29 Tahun 2004 : Pasal ini mengatur tentang larangan bagi dokter untuk melakukan praktek kedokteran yang merugikan pasien atau berpotensi merugikan pasien. Berikut adalah bunyi Pasal 73 Ayat (1) : "Dokter dilarang melakukan praktek kedokteran yang merugikan pasien atau berpotensi merugikan pasien."
Dalam menghindari tindakan malpraktik ada beberapa saran yang dapat dilakukan menurut kelompok kami, beberapa saran yang dapat dilakukan diantaranya :
- Aturan hukum atau Standar Operasional Prosedur (SOP) : diperlukan adanya peraturan hukum atau SOP yang mengatur tentang malpraktik untuk pencegahannya, terutama dalam bidang pelayanan kesehatan. hal ini dapat memberikan kepastian hukum untuk dokter maupun pasien demi mencegah terjadinya tindakan malpraktik medis.
- Pendidikan seksual yang komprehensif : Pendidikan seksual yang komprehensif juga dapat membantu mengurangi praktik aborsi ilegal dengan memberikan pengetahuan yang diperlukan kepada masyarakat tentang kontrasepsi dan perlindungan kesehatan reproduksi.
- Edukasi Publik : harus diadakan edukasi kepada masyarakat terkait hak-hak yang dimiliki oleh rakyat dalam menerima pelayanan kesehatan supaya sesuai dengan isi pasal 28H Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Edukasi ini diperlukan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang malpraktek dan hukum tentang kesehatan. serta diperlukan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada kaum Gen Z untuk mencegah malpraktik. dengan membuat metode kegiatan dalam bentuk penyuluhan dengan bentuk ceramah.
- Perlu adanya persetujuan tindakan kedokteran : dokter harus melakukan tindakan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari tuntutan malpraktek medik.
- Pengawasan dan Pemantauan : Perlu adanya pengawasan dan pemantauan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dengan pihak lainnya harus berjalan melakukan  pengawasan dan pemantauan terhadap tindakan kedokteran. Semua tindak pidana harus sesuai dengan hukum acara pidana dengan peraturan perundang-undangan lain  harus diikuti.
- Kepastian Hukum : Kepastian hukum ini dilakukan oleh sanksi administrasi dan untuk pelanggaran hukum dalam pemeriksaan terdapat pelanggaran hukum. menurut MKDI, pelanggar hukum akan diserahkan kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum. untuk gugatan perdata kesalahan medis dalam menangani pasien, diperbolehkan untuk ganti rugi berdasarkan pasal 1365 BW.
Tim Penulis : Kelompok 8 Gizi 2022 E
Nama anggota kelompok :
1. Audi Fiodorova Nasution (22051334167)
2. Pipit Sudarwanti (22051334174)
3. Maya Maulidiyah Syahildah (22051334181)
4. Shannaz Shafa Aurora (22051334196)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H