[caption id="attachment_170455" align="aligncenter" width="578" caption="Ilustrasi/Admin (http://kfk.kompas.com/user/view/14050-Andy-Satria)"][/caption] Ketika pemungutan suara selesai pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, katakanlah jam 13.00 atau jam 15.00 waktu setempat, maka penghitungan suara sudah bisa dilakukan oleh KPPS di TPS masing-masing. Hal tersebut merupakan hal dan pemandangan biasa di Indonesia, di Thailand, bahkan di Afghanistan. Tetapi hal tersebut tidak akan terjadi di Sri Lanka. Di Sri Lanka, setelah waktu pemungutan suara dilakukan yaitu jam 16.00, petugas TPS akan membungkus kotak suara yang terbuat dari kayu dengan sejumlah plastik dan pita berwarna pink. Pemantau pemilu lokal seperti dari PAFFREL dan CMEV serta saksi partai boleh ikut menempelkan label mereka untuk ‚mengamankan' surat suara yang berada di kotak suara tersebut. PAFFREL dan CMEV adalah organisasi pemantau pemilu di Sri Lanka, semacam KIPP. Hanya dua organisasi ini yang mendapatkan izin memantau hingga ke dalam TPS. Kotak suara kemudian dibawa ke Counting Center yang biasanya berada di kantor kelurahan. Di sana, kotak suara dari seluruh TPS yang berada di distrik tersebut dibuka dan dihitung bersama-sama. Penghitungan suara di Sri Lanka cukup rumit, karena sistem pemilunya menggunakan sistem preferensial, sebuah sistem turunan dari sistem perwakilan proporsional. Seorang pemilih bisa memilih lebih dari satu kandidat yang disukainya dengan memberikan angka di dalam kotak di samping nama kandidat. Misalnya kandidat A diberi angka 3, kandidat F diberi angka 1, kandidat C diberi angka 2. Artinya, dari sekian banyak kandidat yang ada, si pemilih lebih suka pada kandidat F, tapi diapun menyukai dan menganggap kandidat A dan C juga layak dipertimbangkan, tetapi di matanya „pesona" mereka kalah dengan kandidat F. Petugas penghitungan mula-mula akan menghitung suara yang diperoleh kandidat dengan angka referensi 1, lalu kandidat dengan angka referensi 2 dan seterusnya. Cukup memakan waktu dan melelahkan. Belum lagi kalau hitung-hitungannya kemudian sudah masuk ke dalam perolehan kursi. Tak seorangpun di luar anggota Returning Officer dan Counting Officer (keduanya setara dengan KPU lokal) boleh memasuki ruangan penghitungan suara. Ruangan ditutup rapat, bahkan jendela ditutup dengan tirai dan kertas gelap. Ini membuat masyarakat, terutama pemantau pemilu baik lokal maupun internasional, curiga akan adanya permainan dalam penghitungan suara. Hal ini terjadi pada pemilu Presiden Januari 2010. Ketika pemilu parlemen April 2010 ada sedikit perubahan yaitu observer dan saksi partai diperbolehkan masuk, walaupun dibatasi hanya 5 orang saja dan ini pun tidak terjadi di semua Counting Center. Karena itu, ketika sebulan kemudian saya kembali ke Indonesia dan memantau pemilukada Kabupaten Sukabumi, saya mengirimkan foto-foto pelaksanaan penghitungan suara di Sukabumi kepada teman-teman di PAFFREL untuk menunjukkan betapa terbukanya penghitungan suara dan banyaknya masyarakat sekitar bahkan anak-anak berkumpul di TPS dan antusias menonton penghitungan suara. Penulis adalah Pengurus Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Divisi Hubungan Luar Negeri dan Pemantau Pemilu Internasional dalam Pemilu Presiden Sri Lanka, Januari 2010 dan Pemilu Parlemen Sri Lanka, April 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H