Festival Kebhinekaan 7 yang sedang berlangsung secara hybrid mulai 17 - 25 Februari 2024 ini memberikan informasi lebih dalam lagi terhadap keberagaman etnis dan penganut kepercayaan di Indonesia. Festival ini bertujuan untuk memperkuat toleransi lintas iman dan merayakan kebhinekaan.
Acara pembukaan Festival Kebhinekaan 7 dilaksanakan di Perpustakaan Jakarta Pusat pada Sabtu, 17 Februari 2024 diisi dengan sesi inspiring talk bersama Agustinus Wibowo dan pemutaran 2 film pendek dokumenter yaitu Puan Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa.
Puan Hayati (Perempuan Penghayat Kepercayaan Indonesia)
Film ini menceritakan tantangan dan perjuangan perempuan penganut agama kepercayaan lokal.
Dihadiri oleh Ani Ema (assistant director) dan Nata Hening sebagai narasumber.
Datang langsung dari Lampung, Nata menceritakan suka duka sebagai penganut kepercayaan ditengah-tengah kaum mayoritas. Karena di Indonesia dahulu hanya mengakui 5 agama secara resmi, Nata sejak kecil belajar agama Islam bahkan saat SMA memakai hijab di sekolah. Dia pun bisa mengaji Al-Quran sehingga sering didaulat untuk menjadi pembaca ayat suci ketika ada acara di sekolah atau lingkungannya.
Sebagai penghayat Sapta Darma, Nata  bercerita tentang cara sembahyang yakni sujud dengan beralaskan kain putih segiempat menghadap ke arah timur. Dia ingin sekali membangun Sanggar untuk sembahyang, sayangnya beberapa oknum sekitar tidak mengijinkan pembangunan tersebut. Rintangan lain yang pernah dialami penghayat kepercayaan adalah ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka tidak bisa memakamkan jenazah di TPU karena terkendala perbedaan keyakinan.
Sekarang aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sudah diakui oleh negara. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XXL/2016 pada kolom agama di KTP dapat dicantumkan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan sekarang sudah ada prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Simalakama di Tanah Istimewa
Menghadirkan Muhamad Sridipo sebagai narasumber dari rumah produksi Watchdoc yang juga memproduksi film Dirty Vote. Film dokumenter ini mengisahkan para WNI keturunan Tionghoa dalam kepemilikan hak tanah di Yogyakarta.
Hubungan masyarakat Yogyakarta dengan keturunan Tionghoa sebetulnya telah terjalin lama. Salah satu tandanya dengan adanya Kampung Pecinan Ketandan bahkan Yogyakarta pernah mempunyai Bupati keturunan Tionghoa bernama Tan Sin Jin. Namun luas kawasan Pecinan selalu berbeda seiring dengan perubahan masa kepemimpinan Kesultanan disana.
Aktifitas ekonomi dan sosial antara WNI dengan keturunan Tionghoa sampai saat ini berjalan beriringan dengan sangat baik. Akan tetapi untuk hak atas kepemilikan tanah bagi keturunan Tionghoa yang status awalnya Sertifikat Hak Milik diturunkan menjadi Hak Guna Bangun. Hal ini berdasarkan keputusan Paku Alam VIII yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada warga negara non-pribumi seperti Eropa dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India).