Kamis, 7 April 2011: Jumpa Rombongan Jemaah Ahmadiyah Awalnya ingin sekali berkunjung ke negeri Jiran dengan Butet, mengisi libur akhir tahun yang lalu. Namun, kemudian berubah menjadi serius. Seorang sahabat Fesbuker dari Kuala Lumpur, seorang mantan wartawati dan penulis berasal dari Sumbar, Desni Intan Suri yang telah lama tinggal di Malaysia, menyambungkan saya dengan Ketua Komite Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Aninda Lokeswari, ya, tersambung niat saya untuk menyebar virus menulis di Kuala Lumpur, terutama untuk para siswa SIK. Ternyata niat yang saya sampaikan melalui inbox FB itu segera mendapat respon positif. Akhirnya, berkat kerja keras; mulai dari perencanaan, jadwal dan urusan dengan KBRI, Aninda Lokeswari, jadilah niatan menyebar virus menulis ala saya itu bulan April. Dalam beberapa bulan terakhir, kami pun berkomunikasi melalui BBM-an dan inbox FB. Kutengok kamar anakku, Butet, dia ciumi pipi-pipiku dan berbisik:"Maafkan, ya Ma, gak bisa antar. Mau ujian. Mama jangan lupa makan yang benar, minum suplemennya. Jangan sampai sakit lagi kakinya. Jaga kesehatan, jangan lupa...." "Wuaduuuuh, dunia sungguh terbaliiiiik!" tukasku, buru-buru ngacir sebelum kudengat petatah-petitihnya kian merepet jengkol. Hoho! Lah wong waktu dia backpacker-an ke Pelabuhan Ratu bareng gengnya saja, daku gak seheboh itu kasih petatah-petitih. Weeew! Berangkat dari rumah dengan taksi sekitar pukul 04.00, subuh, saking takut terjebak macet. Ternyata memang itu sopir taksi, mengaku, baru kali itulah dia ke Bandara Cengkareng! Sempat keliling-keliling, awalnya menuju Terminal 3, karena diberi tahu petugas tol bahwa penerbangan Ais Asia di Terminal 3. Ternyata untuk Internasional di Terminal 2. Sekitar 15 menit mutar-mutar alias nyasar dari Terminal 3 ke Terminal 2, haalaaah! Waktu boarding sempat kisuh-misuh juga, kelebihan beban sekitar 3 kiloan. Daripada harus bayar sekitar 375 ribu (per kilo 125 ribu!) mending kubongkar koper yang isinya hanya buku! Maka, kuambil enam eksemplar buku Surat Berdarah Untuk Presiden, kutenteng-tenteng sampai terpaksa beli sesuatu untuk mendapatkan plastik. Lumayan, oleh-oleh buah Fatih dan Aisha, anaknya Nostalgiawan. Ya, saya sudah niatkan dan janjian dengan anak angkatku yang satu ini, semalam akan menginap di rumahnya di kawasan Gombak. Nostalgiawan, mantan pengurus FLP Yogya, sejak 2008, melanjutkan S2-S3 di Universitas Islam Antarbangsa. Hubungan kami sudah seperti ibu dan anak, karena sering curhatan, sejak kami sama-sama bekerja di penerbit Zikrul Hakim. Alhamdulillah, sekali ini nyaris tak ada masalah di bagian Imigrasi. Tidak ada petugas sotoy yang hobi bertanya; "Mau jadi TKW, ya?" Hehe. Ceritanya, menanti di Gate D4 sekitar dua jam, saya mengisinya dengan melanjutkan editing buku sobatku, seorang Profesor Call Center, Grace Heny. Dua buku lainnya masih dalam garapan pula, yakni milik Sulistyana, seorang TKW Hong Kong. Dan memoar mantan Ketua Muhamadiyah Singapore yakni; Rasman Saridin. Ops, aktivitasku belakangan ini rada "melenceng" nih. Tapi, enjoy it! "Mbak, Mbak mau ke mana sampeyan?" seorang lelaki berpenampilan sangat khas, sarungan, baju koko putih, peci haji, sandal jepit, lengkap dengan cambangnya. Penampilan yang mengingatkanku akan jemaah tarbiyah. "Oh, nanya saya, Pak?" sahutku, agak heran juga, mengapa dia bertanya kepadaku, bukan kepada ibu-ibu di sebelah-menyebelahku yang sejak tadi recok saja bicara dengan logat khas warga Malaysia. Mungkin orang Melayu yang baru shoping di Jakarta dan mau balik ke kampung halamannya. "Iya, sampeyan ning endi?" Dan dia mendadak nyerocos dalam bahasa Jawa kental yang sungguh tidak bisa kuikuti, sekaligus tak bisa kupahami. Nah loh? Kudu jawab apa nih? "Oh, mau ke Malaysia, ya, sama Air Asia," katanya pula sesaat kusahuti ringkas-ringkas saja. "Bapak mau ke mana?" "Ke India, lanjut ke Nepal." "Rombongan, ya Pa?" "Kami sembilan orang mau ngelmu Islam yang kaffah." "Ngelmu Islam kaffah di India dan Nepal?" tanyaku, terheran-heran. "Bukan ke Arab Saudi, Pak? Ke Mekkah atau Madinah, begitu?" Dan dia kemudian menjelaskan panjang kali lebar tentang keyakinannya, ujung-ujungnya sampai kepada Ahmadiyah. Dia begitu yakin dalam keyakinannya itu, sehingga rela meninggalkan kampung halamannya, keluarganya. Pokoknya, keyakinan yang sudah meresap dalam darah, daging, dan demi itu dia rela mengorbankan; nyawa sekalipun! Lama aku tercenung, memandangi rombongan itu beriringan ke bawah, untuk sholat berjamaah. Kubiarkan mereka dalam keyakinan, dan kutunggu mereka usai sholat. Kuintip sekilas, gerakan sholat mereka ya sama saja dengan gerakan-gerakan sholatku selama ini. Ops, fokuuuuuuus! Kusangka akan dibagi sarapan, ternyata, eh ternyata; kudu beli, euy. Waktu kutanya berapa harga teh manis segelas kecil, pramugari bilang:"Lima ringgit saja, Puan..." "Berapa itu, Dek?" "Yah, lima ringgit," sahutnya keukeuh. Kupikir, dia memang hanya mau berjualan dengan ringgit saja. Sementara tak ade lah ringgit di kocekku, Makcik. Ya wislah, kembali ke; laptop! Lumayan, perutku kerubukan ketika turun dari pesawat pukul 10. 25. Oya, kutambahkan buru-buru satu jam pada arlojiku; 11.25 waktu Malaysia. Nah, di Imigrasi Malaysia inilah mulai terjadi kelelahan lumayan menguras tenaga. Manusia yang antri panjang mengular. Malangnya, saya antri di bagian loket ujung, dua baris. Jadi, bisa dibayangkan saling adu cepat, siapa cepat dia dapat, sumpeee deeeh, 3 jam! Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H