Penghuni Bethune House
Sejak tiba di negeri beton tiga pekan yang lalu, saya banyak bersosialisasi dengan para perantau kita, dengan cara mengunjungi mereka dari satu shelter ke shelter lainnya. Shelter adalah semacam rumah singgah, penampungan bagi para perantau yang sedang tertimpa masalah. Ada enam shelter yang sering dikunjungi oleh Dompet Dhuafa Hong Kong, yakni; shelter Cristian Action, Al Istiqomah, FKMPU, Bethune House, Islamic Union dan Kotkiho. Belakangan saya baru tahu bahwa KJRI Hong Kong pun menyediakan sebuah shelter.
Berikut adalah catatan perjalanan dari shelter ke shelter yang telah saya lakukan selama tinggal di Hong Kong.
Taklim Bidadari Fajar di shelter Dompet Dhuafa HK
Shelter Iqro dan Rumah Berkah
Dompet Dhuafa memiliki dua rumah singgah, satu terletak di lantai dua, di atas kantor dan berseberangan dengan kediaman Ustaz Ghofur di kawasan Li Wen Court, Haven Street. Satu lagi terletak di seberang gedung kantor, biasa disebut sebagai Rumah Berkah. Di kedua shelter ini ada para perantrau yang sedang tertimpa masalah berkisar 20 orang.
Biasanya datang dan pergi silih berganti, ada yang pulang ke kampung halaman di Indionesia. Ada pula yang melanjutkan kontrak baru, bahkan hanya singgah sebentar untuk menyeberang ke Macau atau China, agar mendapatkan perpanjangan visa.
Ustazah Melani dengan salah satu bidadari fajar
Di shelter Iqro ada sekitar 20 penghuninya, kasusnya macam-cama, mulai dari underpay alias gaji di bawah standar, penganiayaan, diinterminit sampai korban kenakalan agent.
Tia (24 tahun) adalah salah seorang perantau yang diperlakukan tak ubahnya bagai budak belian, kontrak tak jelas, majikan dipindah-pindah sampai ke China, surat kontrak entah di mana. Ia harus mengalami prosedur yang sangat berbelit, bolak-balik antara; Imigrasi, KJRI, agent nakal sampai akhirnya terdampar di shelter Iqro. Setelah didampingi oleh seorang relawan Dompet Dhuafa, meminta bantuan ke KJRI, akhirnya Tia mendapatkan tiket untuk pulang.
Kebanyakan underpay dan di-interminit
“Bagaimana, Tia, apa masih akan kembali ke Hong Kong?” Tanya kami saat perpisahan bada solat subuh berjamaah pagi ini.
Dengan tegas ia menyahut, “Iya, aku memang mau kembali lagi ke sini!”
Duhai, tidak ada kapoknya nih anak, pikirku, geleng-geleng kepala. Alasannya di kampung halaman pun keluarganya sangat membutuhkan bantuan. Ia lebih suka mengadu nasib di negeri orang daripada di negeri sendiri yang memang tak menyediakan lapangan kerja untuk lulusan SMP seperti dirinya.
Bethune House dan Korban Pelecehan Seksual
Ketika saya ke shelter di kawasan Jordan Street ini, kutemukan wajah-wajah Njowo. Entah mengapoa di Hong Kong kebanyakan para perantau berasal dari kawasan Jatim dan Jateng. Jarang yang Sunda atau suku lainnya. Mereka masih diwarnai asa dan impian. Kasusnya kebanyakan underpay dan di-interminit, masih dalam proses. Ada yang baru akan meeting dengan majikan, ada pula yang sudah memasuki siding. Entah kapan berakhirnya.
Di tempat inilah saya menemukan seorang gadis perantau, masih belia, usia 16 dipaksa mengaku berumur 24 tahun. Ia kabur dari rumah majikan, karena tak tahan diperlakukan kasar, mulai dari dikasih makananan basi, dilarang solat sampai dipaksa makan daging babi.
Ada yang dipaksa makan daging babi, banyaaak!
Di sini pula saya temukan seorang korban perkosaan. Ya, Darmi (nama samaran) telah diperkosa oleh majikannya dengan cara diberi minuman yang berisi obat bius. Kasusnya telah sampai ke siding, bekas majikan dituntut hukuman 8 tahun atau denda sekitar ratusan juta. Ketika ia diminta damai oleh pihak pengacara mantan majikan dengan iming-iming akan diberi ganti rugi (dalam jumlah sangat besar), Darmi menolak keras.
”Harga diri, kehormatanku tak bisa dibeli oleh seluruh isi bumi ini! Biarlah lelaki jahanam itu masuk penjara!” katanya lantang, membuat jantungku berdegup kencang, salut dan tunduk, takjub kepada perempuan berwajah manis, bermata sendu ini.
Salah satunya korban pelecehan seksual
Sesungguhnya, saya merasa penasaran, hingga kerap bertanya-tanya dalam hati; mengapa para perantau kita di negeri beton ini lebih suka minta bantuan dan perlindungan dari shelter yang dikelola oleh LSM, bukan langsung ke Konsulat?
Lima orang perantau penghuni shelter FKMPU, tiga orang dari shelter Cristian Action, tiga orang lagi dari shelter Al-Istiqomah, menjawab dengan nada yang mirip, intinya sepakat mengeluhkan kinerja Konsulat kita di Hong Kong.
“Pusiiiing, Teteh, bukannya dicarikan solusi, malah dipingpong. Kembali ke agent, kembali ke majikan, kita malah tambah dapat masalah dari agent dan majikan.” Tami, nama samaran, mengaku, ketika datang ke Konsulat, diruruh kembali ke majikan, oleh majikan malah dituduh mencuri, akhirnya dijebloskan ke penjara selama sebulan!
Mengadu ke KJRI, Disuruh Balik Ke Majikan malah dijebloskan ke penjara!
Kemudian, Tami sama sekali tak terbukti mencuri. Ia hanya tak tahan lagi dengan perlakuan majikan yang kasar, underpay, tak pernah diberi liburan. “Nah, Teteh, dengarlah, boleh dicatat! Yang membantuku bukan KJRI, tapi advokasi dari Cristian Action!”
“Mereka sekongkol, kerjasama erat dengan agent-agent menyebalkan itu!” geram salah seorang perantau, korban kekejaman agent nakal, diperlakukan bagaikan budak belian; tidak digaji, tidak diberi libur, hanya makan makanan sisa, tak ubahnya bagaikan seekor hewan!
Matim: Majlis Taklim Macau Indonesia
Shelter di Macau yang didirikan 2005 ini, sering dikunjungi oleh Ustaz Muhaimin. Jangan heran, kalau ustaznya ternyata bukan wakil dari pemerintah Indonesia, melainkan warganegara kita beristrikan perempuan Malaysia, tetapi datang ke Hong Kong sebagai wakil dari negeri jiran. Namun, ustaz Muhaimin begitu peduli dan sangat serius melakukan pembinaan, penguatan mental-spiritual di kalangan perantau Indonesia.
Para perantau yang menghuni shelter Matim waktu saya kunjungi dalam suasana “aman dan sejahtera”. Mereka kebanyakan kasusnya underpay, di-interminit dan extend visa yang ingin kembali ke Hong Kong untuk mendapatkan majikan baru.
Majlis Taklim Indonesia Macau:BMI nyaris Tanpa Perlindungan
“Kita pernah melakukan demo ke kantor staf KJRI itu, Teteh. Soalnya, gemeeeesss! Begitu banyak kasus yang harus diselesaikan, tapi buka kantornya hanya sepekan sekali di hari Minggu. Itupun mulai pukul sebelas, sudah tutup pukul satu. Buka kembali pukul tiga dan tutup pukul lima. Hanya satu kali dalam sepekannya! Baru belakangan berubah, buka juga hari Rabu. Tapi dengan kasus yang seabregan begitu, mana bisa cepat diselesaikan?” ceracau Dewi,menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaannya selama mendampingi rekan-rekannya untuk mendapatkan perpanjangan atau penggantian paspor yang hilang. (Pipiet Senja, Haven Street-Hong Kong)
Mari berdoa bersama untuk kekuatan semua perantau Hongkong-Macau
Mari Menulis Surat Untuk Presiden!
Sastri Bakry menularkan virus menulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H