Nukilan dari novel Imperium karya Pipiet Senja
Ketiga anak itu, Josef, Brian dan Kevin, keluar dari kafe Bakmi Langlang.
Tampak Laloan dan Icha sudah mejeng di atas jip terbuka yang dikendarai Rere. Laloan teriak-teriak menyuruh mereka berebut naik Jip. Giliran Josef yang mulai keleyengan.
Sakau!
“Angkut saja! Naikkan cepet!” perintah Laloan mulai sebal lihat gaya si Josef yang kayak layang-layang putus itu.
Kevin dan Brian susah payah mengangkat mantan si megar itu, dan bruuuug saja, dilemparkan ke jok belakang.
“Masih hidup apa sudah game over nih?” Kevin memeriksa Josef, didekatkannya kupingnya ke dada anak itu.
“Bodo, ah, cabut!” perintah Laloan.
Rere melarikan jip warisan abangnya, meninggalkan asap yang mengepul-ngepul; sumpek!
Dari pintu gerbang sekolahnya, Raja sempat menangkap aktivitas jip dan anak-anak yang menumpanginya. Ia merasa tak keliru, firasatnya membisikkan sesuatu yang buruk.
Ya Tuhan, jangan, jangan sampai anak itu tahu, doanya mengerang dalam hati.
Satu hal yang paling tak diinginkannya!
Laloan mencium aktivitasnya di Karisma, dan pergaulannya dengan anak-anak Gang Molek. Meskipun ia sudah berusaha keras, sembunyi-sembunyi tentang satu hal ini dari pengetahuan Laloan.
Belakangan ia mulai bimbang. Soalnya ada beberapa kali Laloan memergokinya sedang mengangkuti makanan, barang-barang bekas dari gudang.
Seperti yang terjadi minggu lalu.
“Hei, mau diangkut ke mana tuh? Dasar maling!”
“Buat orang-orang yang membutuhkannya. Bukan maling. Tante Maria sudah beri izin,” jawab Raja gugup, meskipun sejujurnya memang sudah mendapat persetujuan ibu tirinya.
“Tak percaya! Tak mungkin Tante aku merelakan barang-barang kesayangannya ini disentuh siapapun!”
“Cuma koper-koper bekas begini, apanya yang barang kesayangan?”
“Itu bagi kamu, tapi bagi Tante aku pasti banyak kenangannya!”
Raja memilih urung membawa barang-barang yang dimaksud Laloan. Dia merasa sejak saat itu gerak-geriknya ada yang mengawasi.
Sepanjang siang itu Raja tak bisa berkonsentrasi belajar. Jantungnya sering berdebaran aneh. Beberapa kali guru menegurnya.
Aduh, padahal ini baru hari pertama!
“Jangan-jangan Mama sakit lagi,” keluhnya kepada Mino saat ketemu di halte.
“Ini SMS atau telepon saja langsung ke Cimahi,” Mino menyodorkan telepon genggamnya.
Dia tahu persis, Raja tak mau memiliki telepon genggam. Alasannya menurut Mino tak masuk akal. Takut konsumtif, belum saatnyalah, en so on!
“Mmm, tidak perlulah. Nanti saja telepon di rumah,” elak Raja tersipu-sipu.
“Yeh, jangan tunda-tunda lagi! Bagaimana coba kalau firasatmu itu ada benarnya? Nyokap butuh bantuan anaknya?”
“Ssshhh, sini hapenya!” Raja tak tahan menyambar benda antik di tangan kakak kelasnya itu.
Bagaimana tak dibilang antik, mereknya sih terkenal. Tapi keluaran pra sejarah, maklum bekas Om yang mantan polisi lalu-lintas, katanya.
“Oooh, syukurlah…”
Raja menghela napas lega begitu mendengar suara ibunya yang riang.
“Lagi lihat casting di Bintaro, katanya…”
“Waaah, hebat! Novel yang mana lagi tuh?”
“Yang teranyar…”
“Sembilan Ribu Bintang!”
“Kok tahu?”
“Nyokap aku kolektor novel-novel nyokap kamu.”
Tiba-tiba benda antik yang masih berada di tangan Raja berbunyi.
Ada SMS masuk. Raja iseng membukanya, toh Mino kelihatan tak keberatan sama sekali.
“Gw tau lu lg brg Raja. Blgin si Tusye lg dimakan anak2 di Anyer, Laloan!”
Serasa ada yang rubuh di dada Raja!
@@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H