Nusantara disematkan pada Ibu Kota Negara baru. Dengan alasan Nusantara sudah dikenal publik baik secara nasional maupun internasional. Bahkan menjadi ikon Indonesia dalam kancah global. Walau demikian, nama itu belum dicantumkan dalam RUU IKN (KompasTV, 17/01/2022).
NamaBagi saya penyematan nama Nusantara itu dilihat sebagai wacana baru yang digulirkan pemerintah untuk memahami respon publik. Sehingga tak heran berbagai kalangan mulai dari politisi, serajawan bahkan nanti cendekiawan maupun masyarakat biasa akan bersuara sebelum penetapannya secara defenitif.
Gemahan wacana pemerintah yang kemudian mencuat aneka perspektif baik pro maupun kontra sebenarnya upaya menggiring kita pada titik pencerahan. Â Sebab nama Nusantara bukanlah suatu idealisme semu tetapi mencakup pergumulan atas fakta historis yang melingkupi perjuangan bangsa ini.
Di sini argumentasi yang perlu dicerna khalayak adalah nama Nusantara dari perspektif historis yang dikemukakan oleh sejarawan JJ Rizal. Menurut JJ Rizal, Nusantara harus diciduk dari konteks lahirnya karena mempunyai nuansa pengertian dan pemahaman yang berbeda setiap periode perkembangannya.
Demikian sejarawan ini menyarankan agar nama Nusantara harus kembali pada konteks Majapahit kala itu bukan merujuk pada Deklarasi Djuanda yang memperkokoh istilah archipelagic state  (Negara Kepulauan) tahun 1957. Dalam analisinya sesuai kondisi Majapahit, nama IKN baru bisa produk Jawaisme atau kontruksi kraton baru. Maka dinamika politiknya pun berpotensi kosentris.Â
Perlu diafirmasi bahwa Kata Nusantara lahir dalam konteks dengan atmosfer pembatasan makna yang berbeda. Sejak tahun 1275, istilah Nusantara telah disebutkan dalam konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kartanegara, Raja Singhasari.
Dwipantara (Sangsekerta) diartikan sebagai"kepulauan antara"yang sama artinya dengan Nusantara. Kata Dwipa sinonim dengan "nusa"yang bermakna "pulau". Â Ambisi politis Kartanegara kala itu yakni menyatukan beberapa kerajaan di wilayah Asia Tenggara dari agresi Kerajaan Mongol.
Di tahun 1336 kata Nusantara diucapkan kembali oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sumpah Palapahnya. Selanjutnya dalam usaha merevitalisasi nama Nusantara walau terikat dengan kadar politis di tahun 1920-an olah Ki Hajar Dewantara.
Sampai disini, munguat pertanyaan yakni apakah nama Nusantara harus semata diletakan pada pundak sejarah? Haruskah kita pesimis dengan desakan negara lain termaksud negara tetengga dengan nama itu?
Untuk itu, dalam menilai kewajaran nama Nusantara harus diberikan pada ibu kota negara baru merupakan proyek bahkan tanggung jawab dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga kita tidak terbelenggu dengan beban sejarah. Bahkan canderung hanya bernostalgia tentang kejatuhan-kejatuhan lampau.