Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

IKN Bernama Nusantara, Apakah Harus Terus Ada Pada Pundak Sejarah?

21 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 21 Januari 2022   12:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain Ibu Kota Negara dari Nyoman Nuarta (IG) via Kompas.com

Materi kita adalah Nusantara kini yang akan beranjak maju sambil menghargai memoria dan belajar untuk memperbaiki kebutuhan-kebuntuhan masa lalu.  Sebanarnya era komtemporer telah menyediakan ruang bagi fleksibilitas pemikiran yang tidak tunggal berdasarkan fakta dan konteks yang melingkupinya.

Tujuannya adalah manusia indonesia mampu mencari, menemukan kebenaran atas fakta hidupnya tersendiri. Bahkan berani menamai dirinya berdasarkan fakta identitasnya. Itu unik. Itu baru bangsa yang mandiri yang mampu berjuang memperbaiki nasibnya.

Untuk itu, salah satu rujukan yang mungkin dan bisa menjadi bahan pertimangan kita sekarang adalah falsafah nusantara. Studi tentang falsafat Nusantara sudah diperkenalkan pertama kali oleh M.  Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada jurusan Filsafat UI dalam bukunya Falsafah Indonesia tahun 1967.

Menurut Nasroen, sebagai tradisi pemikiran abstrak, filsafat Nusantara sudah tertabur benihnya sejak zaman Neolitikum sekitar 3500-2500 SM. Namun secara akademis, baru berkembang pada dasawarsa 1960-an. Proyek pemikirannya pun khas.

Dengan tidak bertendensi kebaratan atau ketimuran namun kesejatiannya Nusantara ditemukan lewat ajaran filosofi mufakat, gotong royong, pantun, Pancasila, hukum adat, Ketuhanan dan semangat kekelurgaan. Produk nyata dari pemikiran itu selanjutnya dinamakan dengan kebudayaan.

Dengan mengidentifikasi filsafat nusantara sebagai bagian dari filsafat budaya maka ada dua pendekatan sebagai acuan dalam menggali kazanah budaya tersebut. Rujukan itu terbaca secara fenomenologis dan metafisis.

Secara fenomenologis, upaya ini sebagai jalan mencari dan menemukan fenomen-fenomen pokok yang membentuk karakter Nusantara. Secara metafisis sebagai upaya melahirkan prinsip yang menjadi tujuan dan jaminan bahwa ekstistensi dan  Nusantara maju secara harmoni. Hal itu demi keseimbangan antara "Yang satu dan yang banyak".

Kalau memang Nusantara objek seimbang yang lahir dari partikularitas budaya kita. Apakah mungkin Nusantara juga menjadi payung atas keberagaman kita. mengapa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun