Pengalaman mengajarkan bahwa kehidupan ibarat sebuah buku. Buku itu tergores aneka peristiwa dengan pola yang unik baik dalam nuansa ketakjuban maupun menakutkan sekaligus menghadiahkan rasa kebahagiaan maupun kesakitan.
Entah sampai kapanpun, walau panorama hidup terus dikisahkan, nostalgia jejak terpijak senatiasa dimaknai dan selubung peziarahan dibuka secara terus-menerus namun buku coretan itu tak akan pernah penuh apalagi rampung.
Perampungan hidup bukan soal penyelesaian agenda parsialitas namun keutuhan tugas sebagai proyek yang digeluti tak mengenal batas. Karena tak mengenal batas maka tugas itu menuntut kesegeraan dan ketepatan dalam penuntasannya.
Sebagai proyek, hidup tak pernah terbilang dalam angka matematis yang menyediakan rumusan kalkulasi yang tepat. Namun hidup tersamar sebagai bayangan yang harus dicermati secara saksama bermodalkan kemampuan dan nasib.
Walaupun orang mengatakan bahwa catatan terpurba dan terus terpelihara adalah catatan yang merangkum jejak kehidupan tetapi hidup masih tetap sebuah buku terbuka. Hidup masih tetap dalam pertanyaan mengharuskan kita untuk terus menjawab, menulis, memaknai dengan segera.
Pertanyaannya, dimanakah persoalan hidup yang menjadi pertanyaan terbuka yang harus dijawab, ditulis dan dimaknai sekarang?
Rokatenda dan Pandemi sebagai catatan Luka Terbuka
Bagi manusia sejagat, salah satu lembaran dengan catatan tebal jelas tergores tentang bagaimana kengerian Pandemi Covid-19 di tahun 2020 yang mencungkir balik normalitas kehidupan kita.
Perkara normalitas merupakan batas kebiasaan dalam segala aspek hidup. Dalam batas kebiasaan ini pun, sebagian besar orang hidup terendap dibawah patokan hidup semestinya karena persoalan yang mendahului maupun yang hadir berbarengan dengan pandemi ini.
Jauh sebelum pandemi covid-19, ada sekian banyak persoalan yang mengguyur anak-anak bangsa hingga ini. Sesuai dengan maksud tulisan ini, saya ingin menandaskan bahwa catatan tebal-hitam menyakitkan itu telah tergores dalam sejarah kehidupan orang-orang Palue ketika Gunung Rokatenda meletus tahun 2012 silam.
Bahkan jauh sebelum itu, kecukupan untuk hidup sederhana saja sulit untuk dipenuhi masyarakat Palue. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala seperti geografis, keterbatasan akses baik darat dan laut di tambah lagi sumber daya manusia yang lemah semakin memperparah dan mencekram kehidupan mereka.