Ada letupan tajam yang membelah garis baku kehidupan ketika pandemi covid-19 menggoncang jagat dan menggelisahkan hidup manusia zaman ini. Pandemi memaksa kehidupan harian biasa yang bebas menjadi ritme hidup terpola.
Pandemi seakan mengisyaratkan tanda krusial dengan menggusur kemapanan dan  memberi cela pada jendela keterpurukan. Dengan itu, pandemi selain mengubah nasib tetapi juga kazanah nilai hidup yang harus digumuli dan direkontruksi secara baru.
Aneka dampak destruksitif dari pandemi terasa menggelapakan atau mengaburkan  pandangan kita yang biasanya tetapi bukan soal logika seharusnya dimana bisa menjerumuskan hidup kita. Justru pandemi menggiring kita pada zona pemahaman baru bahwa hidup harus senatiasa dibaharui. Sebab segala kenyataan akan berubah dan yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.
Bila digeluti secara teliti, pandemi justru menjadi titik protes dengan gerakan untuk kembali. Gerakan kembali itu merupakan suatu penggiringan manusia dari gelaja eksternalitas terhadap internalitas.
Dari tatanan yang terlihat mapan, pasti dan biasa kepada agenda yang tak pasti, terasa miris dan penuh gejolak. Dari bentangan ketakpastian dan ketercerawutan ini menjadi peluang untuk meramu nilai dasariah dalam memperkokoh hidup.
Secara faktual terlihat bahwa pandemi mengembalikan kita kepada rumah keluarga, kepada didikan sejati orang tua tanpa atribut yang nihil makna, kepada kesadaran akan rahim yang telah menyambung nafas bagi hidup kita dan kepada diri sendiri. Sebab disana kita menemukan otentisitas diri sebagai pribadi yang terberi dan terdidik.Â
Oleh karena itu adagium klasik "Gnothi se Authon"-"kenalilah dirimu" harus menjadi seruan yang tak lekang dalam waktu dan terhapus dalam ingatan kita. Lebih tepatnya, kalimat yang harus menjadi pertanyaan yang terus menerus menggugat eksistensi kita.
Bila dicermati baik secara biologis maupun religius ditemukan bahwa hidup adalah sesuatu yang terberi. Hidup sebagai anugerah (religius) dan hidup itu dilahirkan (biologis). Berarti keberadaan hidup diberikan dan ditentukan. Oleh karena itu hidup tidak selamanya hanya dinikmati tetapi juga harus digeluti. Â Â
Keluarga dan Sosok Mama
Bagi saya, pergumulan diri dan hidup dihadapan bayang-bayang pandemi bukan perkara yang mudah. Ada berbagai benturan dengan resiko seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan akan mengganjal laju perjalanan hidup. Sebab itu keharusan itu berada dekat keluarga adalah jawaban sederhana untuk menggenapi aneka tuntutan hidup sekaligus mengindahkan anjuran yang disuarakan disaat pendemi.