Bahasa bisa diibaratkan dengan "tubuhku" yang setiap bagiannya  mempunyi peran. Bahasa seperti "hidupku" yang setiap kisahnya mengajarkan kita untuk berharap dan belajar untuk hidup.
Dalam kekinian dunia, orang jarang bercerita dari hidup menuju kepunyaan (barang) tapi dari kepemilikan kepada kehidupan. Gejala ini diartikan oleh Michael Foucault sebagai "kematian manusia"(la mort de l'homme).
Kita tidak lagi bernarasi tentang kehidupan tetapi justru meleburkan nilai kehidupan dari eksistensi "barang kepunyaan". Sudah saatnya kita bangun dari tidur antropologis. Dengan bahasa aku tidak hanya mengeksplorasi duniaku, kisahku tapi juga duniamu, kisahmu.
Disini aku telah berupaya membangun jembatan intersubjektif dengan "yang lain" tanpa adanya persetujuan. Aku telah mencipta suatu dunia penuh keanekaan namun dalam satu kenyataan tentang "Dunia Kita". Â
Dengan bernarasi, aku mengkontruksi suatu relasi bukan hanya dengan diriku sendiri tapi denganmu sebagai yang lain dari diriku tapi sebagai realitas yang pertama-tama keluar dari pikiran dan hatiku.
Maksudnya setiap bekas sebelum terucap melalui bahasa, fakta itu telah mengalami kesatuan dalam diriku. Tanda ada keterpesonaan, ikatan yang karib, keterlibatan dan kepedulian serta perhatianku.
Dalam bercerita, aku telah mengakui diriku dan yang lain sebagai yang lain sebagai objek imajinasiku tetapi tetap utuh, satu bahkan berkarakter dalam diriku.Â
Dengan bercerita, aku telah menguraikan tentang "engkau" tanpa ada kata sepakat darimu. Aku juga berusaha mempertanyakan keseluruhan dirimu tanpa engkau ketahui.
Maksudku, aku menempatkan engkau untuk selalu baru dalam waktu sekaligus sebagai yang bernilai untuk selalu dikenang. Aku menyambung kepingan-kepingan pengalaman sebagai cerita-cerita yang kemudian bermuara menjadi pencitraan tentang dirimu. Dari cerita menuju pencitraan untuk suatu nilai. Â Â
Dengan cerita kita sedang mewartakan pesona kisah-kisah baik aktual maupun usang. Itu semua bukan semata-mata realisasi diri atau wujud keteguhan hati penuh juang tanpa batas untuk mengelaborasi setiap kejadian dalam horison nilai.
Kita ingin menyuarakan peristiwa sosial, politik, budaya dan romantisme sebagai terikan histeris yang tidak kosong. Tapi cerita dalam balutan baik tragedi maupun kegemilangan  kemanusiaan didalamnya bertaburan makna belum selesai untuk digeluti. Terikan itu patut dan pantas untuk didengar.