Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akhir Neo dalam Jiwa yang Diam

23 April 2020   00:12 Diperbarui: 23 April 2020   00:21 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wahai belahan jiwaku,

Sungguh kehadiranmu telah menghiasi cakrawala kalbu yang kian sesak tertahan dalam jiwa. Engkau mengindahkan setiap alunan langkah yang terajam oleh kerikil perjalanan.

Gejolak rasa oleh sandiwara-sandiwara hidup telah terlampiaskan  dalam dirimu. Terabadiakan pula segala cerita baik suram dan terang hidup. Memandang dirimu terasa terobati setiap goresan luka yang pernah mendera. Sosokmu begitu menawan. Engaku penuh makna sehingga merajamku dalam kerinduan untuk selalu mengeratkan keindahanmu dalam dekapku.

Aku ingin memakhotai dirimu dengan karya jemariku yang paling indah. Aku sadari bahwa engkaulah ruang kepastian untuk kubenamkan rasa, kulampiaskan amarah dan dermaga tempat kulabuhkan getirnya kisah ziarah panjang hidup ini.

"Dengarkanlah kekaguman ini!!

Aku ingin keberadaanmu tidak diketahui siapapun, apalagi dijamah.

Sungguh..,

"Aku tidak ingin semua itu terjadi sebab engkau adalah memori yang takkan terhapusakan waktu dan takkan usang oleh zaman".

"Engkau adalah bagian dari kisahku sebab dalam dirimu termeterai secara sempurna kisahku"

Gumanku dalam hati memandanginya..,

*****

Kini masih membekas dalam sanubariku dan terkisah pula dalam dirimu, sebuah memori tentang kelamnya panorama perjuangan ini. 

Kala itu, tepatnya pada hari kamis dan merupakan hari bersejarah dalam hidupku. Pengalaman itu hadir mengurat dalam kegirangan malam. Cerita mulai terkuak ketika kami menyejukkan raga dibawah naungan gubuk tua beratapkan alang-alang yang telah rapuh. Suasana disiang hari yang begitu panas mencekam mungkin bertanda kesakitan akan mendekat pada palung nubari. 

Kami melewatinya kungkungan itu sembari menikmati harumnya cengkeh buatan PT Kediri. Kehangatannya benar-benar membakar namun hati seakan membeku bak terbelenggu dalam gunung es. Itulah dinginnya keakraban yang sebentar lagi akan luntur.

Di tengah asap yang menggebu-gebu dan dihadapan teman-temanku, aku beranikan diri untuk bertanya sekedar mencari kepastian atas apa yang dikatakannya pagi itu.

Neo..,

Sobat..,

"Mengapa engkau begitu cepat meninggalkan kami padahal perjalanan kita masih begitu jauh?

Sambil tertawa sinis bergurau berkelana dalam lautan kebingungan, sahutnya :

"Banyak alasan tentang kepergianku ini. Jujur, aku tak mampu membahasakan keadaan hati dan benakku. Namun yang pasti aku telah memilih jalan ini. Dan aku yakin pilihan yang tepat akan menentukan kebahagiaanku. Berjuanglah tuk menjadi pengikut-Nya yang setia. Kalian dibutuhkan dunia dan dirindukan banyak orang."

Serunya dengan nada serah seakan menasehati dan menyemangati.

Mendengar ucapan itu, sejenak kami semua terdiam. Hatiku terasa kosong mendengar kata pisah yang secara mengejutkan akan mengantar kami diambang cerai kala itu.

"Tapi kamu masih tinggal di sini beberapa hari lagi kan?''

 "Tanya seorang temanku dengan nada penuh harap"

"Aku harus pergi sore ini. Aku pergi bukan berarti aku tidak ada. Biarlah kerinduan yang akan mempertemukan kita dan biarlah memori yang menjadi saksi persaudaraan dan persahabatan kita." 

Jawabnya dengan nada sayup.

Percakapan yang singkat itu seakan menyudahi keeratan yang dibangun dengan cucuran perjuangan selama lima setengah tahun. Ya Tuhan begitu banyak kisah yang terjalin, tak terhitung badai yang telah menerpa serta berbagai peristiwa- peristiwa yang membekas yang kami rasakan bersama di tempat ini. Mengapa penghujung larah ini begitu piluh'?  Gerutuku dalam hati.

Suasana terlihat tegang, gumpalan--gumpalan asap terus membubung mengawani gubuk tua itu. Begitu banyak ekspresi yang diperagakan oleh teman--teman. Ada yang diam membisu. Ada yang menggelengkan kepala seakan tak percaya bahwa keberssamaan itu akan segera usai. Ada pula yang menepuk bahunya sekedar memberi kekuatan untuk terus menjelajahi kehidupan yang baru. 

Aku tidak tahu pasti seberapa dalam kekecewaan, kekalutan, kesedihan yang diderita teman--temanku. Namun satu rasa yang pasti menderahku hanyalah sebuah pertanyaan yang terus menggerogoti arus benakku.

"Mengapa kami harus berpisah dikala benih--benih kebersamaan masih bertebaran di pelataran hati kami?

Matahari mulai condong kearah barat. Waktu sudah menunjukan pukul 16:00 sore. Gemahan nada perpisahan mulai terdengar begitu nyaring. Pusaran  mata kabur oleh genangan airnya dan hati dalam kebingungan untuk mengartikan peristiwa ini. Ya,,, sungguh peristwa ini tak kuduga sebelumnya.

"Ayo bro, aku su mau berangkat nih?

Ajaknya sambil mengangkat tasnya dan melangkahkan kakinya ke jalan umum. 

Akhirnya kami semua bergegas mengantarnya ke gerbang. Seketika itu juga pelukan mesrah terakhir dan lambaian tangan pun terjadi.

Aku menangis namun aku tidak tahu apa yang sedang ditangisi. Aku kecewa dan terluka tapi tidak tahu apa yang mengecewakan dan melukaiku. Aku benar -- benar bingung. Aku merasa tak berdaya menatap peristiwa perpisahan yang terlintas di depan mataku. Rasa diguyuri kehambaran. Pijakan terasa hampa. Aku hanya hidup dalam ribuan pertanyaan.

Haruskah aku salahkan waktu yang telah membawa pergi persahabatan serta dengan sadis mengakhiri kisah kebersamaan ini?

Neo benar -- benar pergi meningalkan kami dan tempat ini. Kepergiannya telah merobek hati nurani penghuni tempat ini. Di sini tinggal kesakitan dan luka  yang harus dipoles  menjadi kerelaan dengan hati lapang.

Kami menyadari bahwa peristiwa ini bukanlah sesuatu yang harus ditangisi meskipun hati terasa teriris. Sekarang semuanya telah berlalu, semua duka dan kisah bersama Neo berakhir hari ini. Namun kami yakin dan percaya bahwa ada yang abadi di tempat ini dan selalu terbingkai rapi dalam sanubari kami yakni kenangan.

*****

Lagi--lagi aku masih menatap dirinya yang terus berbaring lemah di hadapanku. Aku sangat kasihan. Dia telah mendengarkan keluh kesahku walau dalam keterbatasanya. Ia telah merelakan dirinya untuk kucurahkan gejolak rasa dalam ketulusannya.

Sejenak kugapai dia, kuhangatkan dalam  dekap dadaku dan kuserukan kamu takkan pernah usang dalam bingkai waktu dan takkan pergi ataupun berlalu dari hadapanku. Tak ada yang memisahkan keakraban dan kemesraan kita berdua karena engkau adalah bagian dari kisahku. Ku akan selalu eratkan engkau dalam pelukanku selamanya.

Terimakasih  DIARIKU, karena engkau adalah bagian dari kisah-ku.    

Selamat Hari Buku Internasional!!! 

Cerpen ini pernah dimuat dalam harian Pos Kupang dengan judul Dengarkanlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun