Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Glen, Melodi

9 April 2020   14:30 Diperbarui: 11 April 2020   20:51 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami merangkulmu saat fajar timur tersenyum
Hingga binarnya membungkus jagat satu tatapan
kami menjamahmu laksana malam melukis dinding kuil
Berbatas purna dalam satu denyutan
Hingga gelap pun tak beruang

Kini tak lagi riang seramai dawaimu
Kala berjejak pada jemari
Kini lara telah berujung dalam syair
Kala suara gitarmu mengalun
Yang nadanya tercengkram di serambi

Engkau hanyalah pendawai
Yang memantik sanubari saat kopi tua menghitam rasa
engkau hanyalah pengagum yang lelap dalam polesan irama
terdengar sendumu sepolos nyanyian bujang
dan ceritamu masih terpenjara disini

Pernah berawal
Ketika nada serakmu merekah
Dengan bara sorak yang memuncak
Akhir kita
Ternyata dalam senar tak berpadu
Yang membaris tak searah petikan
Sehingga harmoni tak semulus peredaran bulan

Kami ingin menangis
Namun isakan kami tak bergelora
Tuk damaikan hari yang terluka
kami ingin mencecap lagi gelegar suaramu
Seperti pengantin yang kagum akan semarak pesta pernikahan

Di baranda yang bisu ini
Untuk gelap yang sudah pekat
Kepada hari yang telah beranjak
Kepada langkah yang tak berjejak
Untuk rindu yang tak bertubuh
Untuk syair yang tak bersenandung
Kami doakan

Glen,
Engkau adalah saksi yang tak bertubuh
Dengan aroma nilai yang tak terindra
Jujur, air mata kami berderai
membaris lagu-lagumu
Entah sampai kapan berujung

Ini tentang melodi yang tak berbirama
Kepada notasi yang tak lagi bertuan
Ini soal tangisan yang tak menguping
Kepada rasa yang telah kelu bahkan kaku

Mungkin pangkuan tak sehangat terikan mentari
Mungkin raut tak seagung rembulan
Dan teriakan tak semerdu kicaun burung
Dan kata tak selegah tirta
Akhirnya, kami mengerti
mengapa engkau tergelincir begitu cepat
dari sela palungan pertiwi ini

Puisi ini diperbarui dari blog pribadi "Azzura.xyz", kota karang, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun