Kehidupan manusia zaman ini terlihat begitu mapan. Manusia mencipta, menikmati dan menggeluti berbagai ketersediaan yang merupakan kreasinya. Kemandirian ini memberi peluang akan kosenstrasi tak terbagi.Â
Kosentrasi itu tertuju pada dunia, kondisi dibawah kolong langit. Alasannya bahwa dunia merupakan area dimana manusia menemukan segalanya sebagai bekal perjalanan dalam merakit kehidupan.
Kehadiran teknologi telah mengisyaratkan suatu garis kemajuan tak terbendung sekaligus mempertegas superioritas manusia atas dunia. Manusia menakodai semesta.Â
Tak sampai disitu, wacana mutahir diistilahkan sebagai era Posthuman atau Transhuman dengan agenda bahwa teknologi mampu memberikan kekekalan bagi tubuh fisik manusia.
Hal ini terlihat bahwa kemapanan, kenikmatan dalam kesementaraan tak pernah cukup dalam hasrat dan harapan manusia. Mungkin keengganan manusia tuk berpisah dengan dunia sehingga ingin berpijak abadi di dunia selamanya.Â
Keinginan yang sungguh dahsyat dibarengi dengan kreasi yang luhur namun tak seagung jemari yang telah memoles dari materi fana untuk hidup.
Lihatlah kini. Dengan aneka gejala yang memberikan gambaran ambigu dan dilematis pada manusia. Langkah yang gerakannya pasti namun pincang, kosong, spirit yang kelihatannya tajam namun bersyarat dan abu-abu.Â
Sebut saja virus corona atau COVID 19 yang terus menggejala meramaikan panggung kegelisahan dunia. Dunia tampak mndung. Wajah manusia terkurung, luruh dan murung. Sampai budaya bersalaman ala para alien.
Di tengah badai ini pun ayat-ayat penyegar seperti mengapa gelisah padahal kegelisahan tidak menambah sehasta saja dari kehidupan? Mengapa takut pada pembunuh tubuh tapi tidak mampu membunuh jiwa? Tak mendapat tempat pada ruang batin. Tak mampu memuaskan dahaga sentimental kita.
Mungkin salah kaprah jika persoalan manusia dijawab dengan nasehat-nasehat yang bersifat rohani-spiritual. Di mana titik temunya? Katanya hidup itu menuntut tanggung jawab pribadi.Â