Aku berjuang melawan kantuk. Mataku mulai menuai genang-genang air mata. Tapi aku tetap tak ingin beranjak dari kalian. Aku sangat mencintai kalian, sehingga aku bersedia berbagi apa saja pada kalian, selama itu berkenaan dengan sesuatu yang pernah aku alami.
      Aku sangat senang sekali mengungkapkan perasaan, walau sulit untuk dikatakan. Bagaimana pun, aku terlihat kaku di depan orang lain, aku selalu merunduk dan sungkan menatap kedua bola matanya. Kalau dihitung, barangkali aku hanya bisa bertahan menatapnya selama beberapa detik saja, dengan menawarkan senyuman yang aku paksakan.
      Kadang orang lain mencoba membuka diri, dengan lebih tenang menanyakan kabar dan asal negara. Aku pun merespon dengan cepat, dan melanjutkan pembicaraan. Aku tidak mudah membuka pintu pada orang lain. Tapi aku tahu mana yang cukup menawan, mempesona, dan menarik hati.
      Dahulu, aku bisa menulis berbait-bait puisi pada perempuan yang aku hafal nama lengkapnya. Sebab, hampir semua perempuan yang ku kagumi, aku hafal nama lengkapnya. Ada yang satu kata, dua kata, dan tiga kata. Beberapa di antaranya, aku menuliskan puisi dengan awalan huruf yang membentuk namanya, jika kita perhatikan awal kata di setiap barisnya dari atas bait awal, hingga bawah paling akhir.
      Aku mudah menangis, melampiaskan sakit hati dengan tangisdan lagu sedih. Bagiku lagu-lagu itu sangat cocok menemani perayaan kesedihan. Dan sakit hati memang butuh pesta. Bahkan aku anjurkan kalian, untuk berdansa menari riang gembira rayakan luka pedih itu. Memang tidak ada yang bisa diharapkan dari masa lalu, ia akan selalu menjadi masa lalu, yang monumental, dan menjadi benang merah cerita dalam hidupmu. Yang hanya bisa kita lakukan adalah membaca masal lalu itu dari sudut pandang lain, dari jarak pandang yang berbeda, dan perspektif yang lebih nyata dengan keadaan kita saat ini.
      Masa lalu tidak akan menghilang dari hidup kita, ia tidak akan tertimbun dan terkubur lenyap dalam perut bumi. Ia tetap membersamai kita, berjalan beriringan dengan langkah kita kemana pun pergi. Masa lalu tidak bisa diubah, dan tak bisa kita mengulangi waktu yang telah berlalu itu. Kalau pun itu hal yang mungkin terjadi, aku berharap dapat kembali ke masa-masa kecilku dulu, saat aku tertawan oleh tawa orang lain. Saat aku menangis dimarahi orang tuaku sebab tak pulang tepat waktu. Mereka sangat khawatir pada anak-anaknya, itulah kasih sayang yang tulus pada anak kecil yang masih butuh perlindungan dan pelukan hangat orang tua.
      Aku pun tak begitu yakin orang modern dapat menciptakan mesin waktu yang bisa memutar waktu. Bagiku itu hal yang mustahil adanya, tapi aku akan kagum jika memang itu benar akan terjadi kelak. Yang mungkin akan terjadi dalam waktu dekat adalah kecanggihan piranti-piranti teknologi mesin dan robotika. Sebuah penemuan muktahir semacam kecerdasan buatan yang mulai memindahan isi otak manusia dalam perangkat mesin.
      Saat ini aku difasilitasi dengan media yang begitu mudah sekali untuk menulis. Cukup membuka laptop dan microsoft word, lalu menguploadnya ke salah satu media daring dengan begitu cepat. Dahulu, nenek moyang kita belum merasakan kemudahan ini. Sehingga mereka tidak memiliki banyak waktu luang. Sebaliknya, kita dengan segala kemudahan di sekeliling kita, seakan-akan kita menyia-nyiakan waktu begitu saja, menunda segala urusan yang seharusnya bisa kita kerjakan saat itu juga, tenang, aku pun begitu.
      Aku berusaha menjadwal kegiatanku dalam bentuk tabel, tapi tidak berhasil. Aku mendata targetku dalam seminggu, namun aku tergerak menyelesaikan itu di saat waktu tegang. Begitu malas dan santainya diriku, bahkan aku merasa bodoh bahwa kematian itu datangnya nanti-nanti saja saat aku sudah merasa jenuh sekali di dunia, dan pada waktu aku telah siap untuk menerimanya. Bodoh sekali. Sebab kematian itu misteri, sekaligus sesuatu yang pasti. Sebagai misteri, sebab aku tak tahu kapan ajalku datang, bisa jadi setelah aku menulis ini, atau besok, atau kapan pun, itu terserah Tuhan. Ia juga kepastian, sebab manusia pasti akan menemui ajalnya, pun tak bisa menolaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H