Badai Topan Haishen menghantui daerah Changchun selama dua pekan. Sebuah pemandangan ganjil, badai itu berjalan menyusuri wilayah utara China hilir mudik mengepal awan menjadi gelap. Selimutnya membawa kesedihan yang menutupi setiap kota silih berganti.Â
Cuaca begitu dingin. Angin menyapa pepohonan yang menjulang di sudut bibir trotoar, lalu mendesak, memaki sampai sepatah kata-katanya menidurkan pohon cemara itu di atas pangkuan sepanjang jalan.
Dalam sepetak kamar di waktu pagi, aku menatap mentari dan cahayanya kian redup tersuruk pada kaki-kaki awan yang mengangkang menghalangi pandanganku. Tiba-tiba angin terdengar melengking dan hujan ikut bersenandung luruh berirama.
Deras hujan membelah hening dari balik jendela seolah-olah ia datang dilemparkan oleh Tuhan untuk menemaniku yang sedang belingsatan haru meratapi hari-hari setengah hati.
Bias-bias cahaya pagi tertutupi barisan kavaleri topan Haishen ini yang menyulut gelisah semua orang, sebab mereka harus menghormatinya berpatroli sepanjang kota dan jika melanggar, Ia tak segan menampar-nampar tubuh kita hingga memucat dan rapuh.Â
Pun gemuruh langit riuh rendah menambah kekhawatiran kami. Lalu kampus, pemerintahan, pusat perbelanjaan, pasar-pasar, kantor-kantor, semua melayangkan peringatan agar bersembunyi di balik hunian masing-masing dan singsingkan lengan untuk tetap waspada.
Lengkap sudah penderitaan pagi ini. Pasalnya berbulan-bulan kami hidup memang sudah bersembunyi lama di balik selebaran masker. Terhitung sejak Januari awal meledaknya amarah secuil partikel paling kecil-mikro seolah-olah tak tampak dan adanya tiada, abstrak.Â
Ia berangsur-angsur menggandakan diri, sporadis dengan membentuk jalinan dari yang satu ke yang lain, terus menerus dengan menusuk sistem kekebalan manusia yang berupa kumparan imun.Â
Partikel virus itu sengaja membabi buta mengancam eksistensi kami di bumi, makin hari kian meluas tersebar dan melahap habis korban yang bergelimang bergelantungan hampir di setiap belahan negara. Situasi kian memburuk, memaksa kita bersembunyi berdekapan di goa masing-masing. Bahkan membuat kita saling curiga satu sama lain.
"Setan Covid!" geram Thouf kepadaku.
Thouf adalah lelaki pengagum Tuhan dan gemar berspekulasi terhadap suatu peristiwa. Ia selalu mewedarkan hubungan suatu peristiwa yang terjadi sebagai objek dan Tuhan sendiri sebagai subjek utamanya. Ia pernah berbicara mengenai kesesatan manusia melakukan pencarian jati diri hidup di tengah-tengah penduduk desa yang haus guyuran rohani.Â