Dua sekoci yang menimpali
arus zaman sedang mengapung
di atas paruh waktu.
Ada lobang sehelai jentik
dari geladak cuaca yang satu
memangkas kendali begawan
sebab arah mulai oleng
dan pasang gelombang meletup
dalam tuas genting
bersamaan,
"Ayo pacu lagi, Tuhan!"
kelakarnya.
Sementara orang-orang di perahu yang lain
mengais air ketuban melalui secarik do'a,
"Ku pintal langit-langit dengan jemari ini!"
pungkas juragan.
Mereka terus berlayar mesra
menuju pulau seribu randu
yang menaksir sejumlah pelancong,
sebab luka pada tunas-tunasnya
selalu dikerdilkan
dan rekayasa.
Ia masih saja berkelakar
dan perahu kecilnya terhenti
di tengah lautan yang perlahan tenang.
Ketika ia gundah gulana,
wajahnya melankolis,
mulailah ia membual hening,
"Aku percaya Tuhan sedang menikmati gelisahku,
sebab bukan aku sendiri yang melintirnya..."
lambat laun, ia terpejam dalam kata.
Dua sekoci yang membilah
arus zaman sedang melaju
di bawah titik zenit dan nadir
yang melintang,
merengkuh batas pengakuan.
Changchun, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H