Mohon tunggu...
ana Mhi
ana Mhi Mohon Tunggu... Freelancer - Wanita dengan keseharian biasa saja

Suka kopi dengan khas pahitnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Mungkin Tuhan Belum Percaya

13 September 2022   13:45 Diperbarui: 13 September 2022   13:44 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com/pheladii

"Sabila...," aku berhambur memeluk dan menggendong anak dari salah satu kakak sepupuku. Rindu sekali aku dengannya, sudah dua bulan tidak bertemu. Kak Ria memutuskan mengikuti suaminya tinggal di kota lain setelah enam bulan LDR-an. Kalau bukan karena pekerjaan, suami kak Ria juga lebih memilih untuk tinggal di sini.

Anak-anak seumuran Sabila juga ada dan aku menyapa satu persatu sambil mengajukan pertanyaan singkat pada mereka. Kembali aku fokus pada Sabila karena memang aku merasa dekat sekali dengannya dan ingin melepas rindu.

"Anak orang mulu yang dipeluk, anak sendiri kapan?" ucap salah satu bibiku yang baru saja bergabung bersama kami dan mengambil tempat duduk di samping kak Ria.

Beberapa sepupuku acuh, sibuk dengan aktivitas mereka. Tapi beberapa lagi tertawa, mungkin mereka menganggapnya hanya candaan dan itu lucu. Aku tertawa kecil dan terus melanjutkan bermain bersama Sabila.

Pikiranku entah berjalan ke mana. Ada rasa sesak di dada, aku tidak begitu paham dengan perasaan ini. Entah marah, kesal, malu atau apa? Padahal sudah beberapa kali kudengar kalimat serupa, 'kapan punya anak?'. Tapi yang barusan kenapa begitu menyakitkan.

Aku dan mas Idam menikah dua tahun lalu tetapi belum dikaruniai buah hati. Kami rutin memeriksakan diri ke dokter dan katanya masih ada harapan. Anjuran dokter juga sedang kami terapkan, mulai dari mengatur pola makan sampai mengkonsumsi obat.

Ucapan bibi sungguh membuatku sedih, sejak hari itu aku semakin sensitif jika membahas soal anak.

"Biarkan saja! Banyak berdoa, ya sayang." Aku menceritakan kegelisan hatiku kepada mas Idam. Tidak banyak yang dia katakan, dia hanya memeluk dan menenangkan. Memang hanya itu yang aku butuhkan darinya saat ini.

Pada setiap sepertiga malam, aku mengadu pada Tuhan. Bercerita dan meminta kabar baik yang aku tunggu dari-Nya. Sedih rasanya setiap kali mendengar keluarga dan tetangga bertanya hal yang sama.

"Mas perhatikan kamu udah jarang ke rumah Lina, apalagi ngumpul bareng keluarga," ucap mas Idam saat kami hendak tidur. Malam ini mas Idam pulangnya sedikit lebih awal sehingga kami masih menyempatkan diri mengobrol ringan sebelum terlelap.

Sebenarnya Lina juga bertanya hal yang sama padaku kemarin. Katanya dia beberapa kali ingin menemuiku, tapi pintu rumah selalu tertutup. Sering ia mencoba mengetuk namun tidak ada jawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun