Mohon tunggu...
HAIDAR
HAIDAR Mohon Tunggu... Dosen - Lecture of Islamic Law Philosophy at IAIN Ponorogo

Mengajar, bermusik, membaca, berdiskusi. Pegiat Literasi yang terus memaknai kehidupan agar terus menjadi manusia sekaligus hamba yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyingkap Rasionalitas "Kantian" dalam Kerangka Kebebasan Beragama

23 September 2023   18:02 Diperbarui: 23 September 2023   18:06 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari era Pencerahan, telah membawa pemikiran yang mendalam tentang hubungan antara Tuhan, moralitas, dan kebebasan beragama. Dalam kerangka pemikirannya yang terkenal tentang fenomena dan noumena, rasionalitas dan moralitas, a priori dan a posteriori, serta akal budi murni dan akal budi praktis, Kant mengajarkan kepada kita tentang pentingnya merenungkan Tuhan dalam batasan rasionalitas.

Dalam pemikiran Kant, pertama, fenomena merujuk pada realitas yang dapat kita amati, rasakan, atau pahami melalui pengalaman sensorik. Ini adalah dunia yang dapat dijangkau oleh akal budi manusia. Sementara itu, noumena adalah dunia yang ada di luar pengalaman sensorik kita, yang tidak dapat dipahami oleh akal budi manusia. Kant percaya bahwa kita memiliki pemahaman terbatas tentang noumena, dan kita tidak dapat sepenuhnya memahaminya. Dalam konteks Tuhan, Kant berpendapat bahwa kita dapat merenungkan eksistensi Tuhan sebagai ide dalam dunia noumenal, tetapi kita tidak dapat membuktikan atau membantahnya melalui pengalaman fenomenal.

Kedua, Kant menghubungkan rasionalitas dengan kemampuan manusia untuk menggunakan akal budi mereka dalam mengambil keputusan moral. Baginya, moralitas adalah produk dari rasionalitas manusia. Moralitas terletak dalam kemampuan manusia untuk mengakses hukum moral melalui akal budi mereka. Kant menekankan bahwa kita memiliki kewajiban moral yang bersifat objektif dan universal, yang melekat dalam akal budi kita. Dalam konteks ini, merenungkan Tuhan dalam batasan rasionalitas berarti memahami bahwa prinsip-prinsip moral yang kita anut dapat dihubungkan dengan ide tentang Tuhan sebagai sumber moralitas.

Ketiga, Kant membedakan antara pengetahuan a priori, yang diperoleh melalui pemikiran tanpa bergantung pada pengalaman, dan pengetahuan a posteriori, yang diperoleh melalui pengalaman empiris. Dalam pemikirannya tentang Tuhan, Kant berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah masalah a priori, yang berarti bahwa kita dapat merenungkannya melalui akal budi kita tanpa harus mengandalkan pengalaman empiris. Ini berarti bahwa pemikiran tentang Tuhan dapat berakar dalam akal budi murni, yang tidak tergantung pada data pengalaman konkret.

Kemudian, Kant memisahkan antara akal budi murni, yang berhubungan dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip universal, dan akal budi praktis, yang berkaitan dengan tindakan dan kewajiban moral. Dalam pemikirannya tentang Tuhan, Kant mengaitkan akal budi murni dengan kemampuan manusia untuk merenungkan ide tentang Tuhan sebagai prinsip moral yang mengatur tindakan manusia. Ini menciptakan hubungan antara akal budi murni yang menciptakan ide tentang Tuhan sebagai landasan moralitas manusia, dan akal budi praktis yang mengarahkan kita untuk mengikuti prinsip-prinsip moral ini dalam tindakan kita sehari-hari.

Salah satu gagasan sentral Kant adalah bahwa kita memiliki kemampuan rasional untuk memahami dan mengakses moralitas. Moralitas, baginya, adalah sesuatu yang universal dan objektif, yang melekat dalam akal budi manusia. Kant menegaskan bahwa akal budi manusia memiliki kemampuan untuk memahami hukum moral yang dikenal sebagai "imperatif kategoris," yang merupakan perintah moral yang bersifat mutlak dan tidak bergantung pada keinginan atau keadaan.

Namun, dalam mempertimbangkan kebebasan beragama, Kant juga menghormati hak setiap individu untuk memiliki keyakinan agama mereka sendiri. Ia menekankan pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Kant menyadari bahwa setiap orang memiliki hak untuk memiliki keyakinan agama mereka sendiri, dan tidak seharusnya dihakimi sebagai "tidak berpikir" atau "tidak menjalankan perintah kitab suci" hanya karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda.

Dalam pandangan Kant, keyakinan agama adalah bagian dari domain noumenal atau realm of things-in-themselves yang tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal budi manusia. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menghormati keragaman keyakinan agama, dan tidak mencampuri urusan spiritual orang lain.

Dengan demikian, Kant mengajarkan kepada kita bahwa pemikiran rasionalitas moral dan kebebasan beragama adalah dua aspek yang saling melengkapi. Pemahaman moral yang mendalam harus disertai dengan penghargaan terhadap hak setiap individu untuk memiliki keyakinan agama mereka sendiri. Dalam dunia yang semakin pluralistik ini, pesan Kant tentang toleransi dan penghargaan terhadap keragaman keyakinan agama tetap relevan dan penting untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun