Reshuffle kabinet jelas adalah hak mutlak dari seorang presiden. Karena menteri adalah pembantu presiden. Ibaratnya rumah tangga, ketika ada pembantu yang tidak becus dalam bekerja sesuai yang diharapkan maka hak dari kepala keluarga untuk memecat atau menggantinya. Karena jika tidak itu bisa menyebabkan gangguan dalam sistem kerja rumah tangga tersebut. Semisal yang seharusnya konsentrasi memasak karena tukang cucinya tidak mampu kerja akhirnya harus ikut nyuci juga. Atau karena supirnya nggak bener akhirnya tukang kebun yang mestinya motong rumput malah kebagian mengantar anak sekolah.
Membandingkan rumah tangga satu keluarga dengan satu kabinet tentu saja berbeda dalam konteksnya. Karena kebijakan satu keluarga hanya akan mempengaruhi nasib satu keluarga atau rumah tersebut. Namun kebijakan seorang presiden bisa mempengaruhi nasib satu negara atau setidaknya satu menteri bisa mempengaruhi satu departemen di bawahnya. Maka keterbukaan di era informasi ini menjadi hal penting. Keterbukaan sebagai bagian dari wujud transparansi pemerintahan. Bahwa mengganti menteri tentu saja sah-sah saja. Tetapi mestinya dibarengi dengan informasi yang jelas tentang penggantian tersebut agar tidak menimbulkan isu-isu yang tidak populis di masyarakat.
Sering penggantian menteri tidak dibarengi dengan penjelasan pokok permasalahan kenapa dia diganti. Mungkin karena budaya ketimuran sangat mengutamakan asas pantas tak pantas. Namun semua juga tahu bahwa jabatan menteri di kabinet merupakan salah satu komoditi panas dagangan politik dari parpol. Maka sunggguh tak elok jika seorang menteri diganti tanpa jelas permasalahannya. Pada akhirnya isu yang akan muncul adalah jual beli politik. Demikian yang sering terjadi. Apalagi jika benar dalam reshuffle jilid iii nanti (jika benar terjadi), seorang Ahok masuk dalam barisan menteri baru. Bukan tidak mungkin justru akan semakin mengentalkan aroma politik dari reshuffle itu sendiri.
Lain soal pula salah satu titik lemah dari pemerintahan pasca rezim Soeharto adalah ketiadaan pembangunan yang berkesinambungan. Seringnya pemerintah baru (dengan isi otak yang baru) akan lebih memilih menjalankan idenya sendiri yang baru dan mengabaikan kebijakan/pembangunan dari rezim sebelumnya yang belum selesai. Dikhawatirkan bahwa hal yang sama bisa terjadi dengan adanya resuffle. Semestinya presiden harus memeiliki garis kebijakan yang tegas dan jelas agar menteri yang baru tidak perlu membuat kebijakan baru yang pada akhirnya malah membawa kembali program pembangunan di departemannya ke titik nol.
Maka perlu dikaji lagi apakah reshuffle itu benar-benar diperlukan dengan jangka waktu pemerintahan yang tak seberapa lama lagi. Bagaimanapun orang baru dengan pemikiran dan metoda yang baru pasti akan membutuhkan adaptasi juga. Jangan sampai pergantian yang asalnya untuk menggenjot target justru malah makin menjauh dari target.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H