Mohon tunggu...
Pinto Anugrah
Pinto Anugrah Mohon Tunggu... -

Pinto Anugrah, menulis puisi, prosa, lakon, dan esai. Mendirikan Ranahteater dan rumah kreatif Kandangpadati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kota Lalu, Ibu

14 Maret 2012   18:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:02 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-rambut ibu panjang seperti mengukur kesetiaan -

Ia berjalan, sendiri. Menyusuri keheningan Kota Lalu yang membangun kenangan. Walau kenangan itu pernah ia lepas. Kini dicoba mengingat kembali. Sebuah trotoar, di mana kanaknya pernah berlari dengan lincah.

“Elfira, masuk ke rumah! Tidak baik anak gadis masih di luar senja begini!” Ibunya berteriak di depan pintu, sambil memegang sapu lidi yang biasa digunakan untuk mengusir kucing.

Elfira makin berlari.

Menyusun dan mencoba mengingat kembali. Ia terus menyusuri trotoar, kemudian melewati sebuah kios buku, terjepit di antara gedung-gedung yang mungkin tidak lagi menganggap kehadiran sebuah kios.

“Ah, kios itu masih ada.”

Kios kecil tempat ia bersembunyi dari kejaran ibu, sekaligus tempat ia menghabiskan hari-hari. Dan kios yang menjadikan ia besar. Selama ini, penjaga kios itulah yang menjadi sahabat terbaiknya. Lelaki—yang biasa dipanggil Pak Tua—setengah baya, kira-kira umurnya baru empatpuluh tahun. Janggut dan jambangnya lebat, dan telah memutih. Banyak teman sebayanya yang takut pada penjaga kios itu, namun tidak bagi Elfira.

Penjaga kios itulah satu-satunya teman mainnya. Ia acapkali menceritakan suatu cerita yang lucu dari salah satu buku yang disewakan. Mimik mukanya selalu membentuk seperti apa yang digambarkan cerita itu. Hingga Elfira kecil sering tertawa melihat tingkah Pak Tua.

Kini ia berada di depan kios itu. Matanya mencari-cari sosok Pak Tua. Ia tidak menemukan. Hanya seseorang di sana, di sudut kios. Seorang lelaki yang kira-kira sebaya dengannya tengah membaca buku.

Tiba-tiba ada sesuatu yang membuat pipinya dingin. Rintik. Ia menengadah. Tetesan itu semakin melesap, menghujam muka. Hujan tiba-tiba. Ia tidak akan berteduh. Lalu membiarkan hujan itu membasuh muka dan seluruh tubuhnya. Bau tanah dan bau aspal mulai tercium. Bau yang sangat berbeda antara keduanya. Ia merasa selalu berada di antara keduanya.

Elfira merasa selalu berada di antara dunia kecilnya dan dunia yang diberikan ibunya. Ia tidak pernah suka dan selalu merasa risih saat rambut panjangnya dibelai. Rambut yang tergerai lurus dan hitam, selalu menjadi daya tarik ibunya untuk menyisir dengan jemarinya—walau sebenarnya rambut itu tidaklah kusut. Setiap sore, setelah ibunya selesai memasak, ia akan menahan Elfira dan berusaha memangkunya di beranda. Hanya untuk rambut, untuk rambutnya yang tergerai indah. Dan Elfira kecil tak pernah mengerti.

“Aku memimpikan anak perempuan yang bisa merawatku nanti.”

Begitulah, ibunya selalu berkata saat mulai menyentuh pangkal hingga ujung rambutnya. Namun, Elfira seperti tidak mendengar apa-apa. Kata-kata itu lolos begitu saja, seperti pikirannya yang kini melesat entah ke mana. Hingga, ia sering tidak sabar menunggu ocehan ibunya. Terkadang dalam rangkulan ibu, ia kerap kabur dan langsung berlari menyusuri gang demi gang, kemudian bersembunyi ke kios Pak Tua. Masih dengan napas tersengal ia langsung meminta Pak Tua bercerita.

“Bocah nakal, pasti kabur lagi dari pangkuan ibumu. Duduklah dulu! Pak Tuamu ini pasti akan bercerita.”

Hujan kian lebat. Sekujur tubuhnya dibiarkan begitu saja terguyur. Tidak apa, sudah patut tubuh ini dibasuh, setelah sekian lama menumpuknya debu-debu itu. Ia ingin bersih. Elfira ingin bersih, karena itulah ia kini tengadahkan wajahnya, menanti guyuran hujan yang akan membawa hanyut setiap debu-debu itu. Dan ia pun ingin hanyut. Hanyut oleh perasaan sendiri. Bahkan saat ia mulai tumbuh, saat ia mulai belajar membaca dunia luar. Elfira mulai mencari dan berusaha menemukan.

Maka, senja itu, Elfira pulang ke rumah tanpa rambut panjang yang tergerai. Ibunya yang melihat rambut itu, langsung mengatupkan mulut menahan marah. Mukanya memerah, ia seperti tidak tahu hendak berbuat apa pada anaknya. Elfira sudah menduga, dengan senyum yang merekah, ia menyerahkan sesuatu.

“Rambut ini bukan milikku, rambut ini milik ibu.”

Ibunya terdiam, mematung. Kemudian, air mata itu mengalir membelah pipinya yang mulai keriput. Elfira acuh, tidak mengindahkan. Ibunya membatu dan ia pun telah beku. Semenjak itu, ia merasa asing. Ia tidak pernah lagi bicara dengan ibunya. Elfira sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak ada lagi yang menunggu di bibir jendela rumah, menanti ia pulang bermain atau meminta ia duduk di pangkuannya.

Dingin.

Hujan memang membuat tubuh menggigil, apalagi hawa di sini memang cukup dingin. Kota yang terletak di lereng pegunungan. Namun Elfira tidak juga beranjak untuk sekedar berteduh. Sudah lama ia tidak merasakan guyuran ini. Elfira tidak pernah menghitungnya, mungkin karena ia tidak mau mengingatnya, walau selalu melintas di kepalanya.

“Tidak pernah aku menginginkan anak seperti ini. Entah apa dosaku.” Pagi itu ibunya berkata saat Elfira baru keluar dari kamar dan belum sempat mencuci muka.

“Ibu berkata kepadaku?”

“Aku tidak pernah mengajarkanmu berlaku tidak sopan seperti itu!”

“Aku tidak pernah memiliki diriku, selama ini diriku hanya milik Ibu! Aku juga ingin memiliki diriku, Bu.”

“Kau tidak pernah mau membahagiakanku!”

“Dengan mengindahkan kebahagianku?”

Maka, tangis itu pecah. Begitu juga dengan ibunya, sedari tadi air mata itu telah membasuh pipinya.

“Kau bukan Elfira anakku lagi!”

“Aku tidak pernah merasa memiliki siapa-siapa.”

“Anak kurang ajar, pergi dari rumah ini! Aku tidak pernah melahirkan anak sepertimu. Pergi!”

“Itu lebih baik. Terimakasih! Mungkin itu satu-satunya keinginanku yang Ibu mengerti.”

Elfira masuk ke kamarnya, membereskan semua pakaian. Ia tidak menangis lagi. Air mata itu telah tertahan.

Begitu lama, hujan yang begitu lama. Ia tidak merasa gigil lagi, mungkin sudah kebas atau tubuhnya yang benar-benar sudah mati. Ia sendiri tidak tahu. Ia hanya merasa ada sesuatu yang menyesak di dada, hingga ia tetap merasa hangat berdiri di bawah gerimis.

Entah telah berapa tahun. Dan entah sudah berapa kali ia lewat di depan etalase toko itu. Memandangi maneken yang memajang sebuah gaun yang sudah lama diidamkannya. Gaun yang cantik. Tidak. Maneken yang cantik. Namun, wajah maneken itu, itu wajahnya. Elfira yang cantik. Tidak. Elfira tersentak, handphone di tas tangannya berbunyi. Sebuah pesan: Aku masuk rumah sakit. Kanker usus. Aku butuh kamu sekarang!

Ia baca kembali pesan itu. Baru saja ia hendak membacanya lagi, sebuah pesan baru masuk. Elfira langsung membacanya: Ibumu, jantungnya. Ayah harap kamu bisa pulang sekarang! Ibumu sangat membutuhkanmu. Pulanglah, demi kesehatannya!

Ia tidak mengindahkan pesan kedua. Elfira langsung menuju rumah sakit.

Sebenarnya ada rasa getir saat ia membaca pesan dari ayahnya. Rasa cemas, dan ia tidak bisa memungkiri ada sesuatu yang mendorong dan mengusik. Tapi keras hatinya mengalahkan semua, ia segera menepis perasaan itu.

Gerimis yang tidak tertepis. Kabut mulai turun. Pegunungan yang memunggungi Kota Lalu mulai tertutupi. Kabut itu makin tebal dan makin tebal, seolah kabut itu kini tengah mengepungnya. Tidak, ini bukan kepasrahan, tapi inilah sebuah pilihan. Sebuah pilihan dari Elfira.

Sebuah pilihan dari seorang ibu. Dan Elfira benar-benar tidak menduga.

Tengah malam, selimutnya tersibak dan langsung hawa dingin memeluk tubuh kecilnya. Ia terjaga. Dan Elfira mendengar ayah dan ibu masih terjaga. Mereka seperti membicarakan sesuatu. Elfira menguping pembicaraan itu.

“Sudah kukatakan, tapi kau tetap bersikeras!”

“Perkawinan tanpa mempunyai anak terasa hambar sekali. Lagipula aku hanya ingin melahirkan seorang anak saja.”

“Saya mengerti. Saya pun ingin memiliki anak, bahkan tidak hanya satu, banyak! Namun, saya mengingat kesehatanmu. Dokter tidak mengizinkanmu melahirkan!”

“Tuhan mengizinkanku melahirkan!”

“Melahirkan? Tanpa…”

Kemudian sayup-sayup. Hanya nyanyian gerimis yang terdengar. Elfira sudah berpindah ke dunia kecilnya. Sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga. Elfira berlari, dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Begitu riang.

Kabut makin menebal. Di sekitarnya, kabut menjadikannya samar-samar; gedung itu, jalan itu, dan kios itu. Semua telah jadi bayang-bayang atau memang hanya sebuah bayang-bayang? Ah, Elfira menepis pikiran sendiri.

Namun, tiba-tiba, di balik kabut itu, samar-samar, Elfira melihat atap rumahnya. Atap rumah yang berbentuk tanduk itu—sebagaimana lazimnya rumah adat di kampungnya. Rumah yang menjadi kebanggaan keluarganya, kebanggaan ibunya. Atap rumah itu, di balik kabut, seperti siluet.

Seperti sebuah siluet, kemudian bayangan itu hadir di depannya. Rumah itu dan ibunya, yang tiap petang selalu termangu di bibir jendela, menantinya pulang bermain. Dan kata-kata yang menyambut, selalu, kata-kata yang hampir sama: “Elfira, duduklah di pangkuan Ibu! Anak perempuan tidak baik banyak berada di luar rumah, karena adat kita tidak mengajarkan seperti itu.

“Adat kita, adat perempuan. Jadi segala sesuatu yang dipunyai adalah milik perempuan. Sudah sepatutnya seorang perempuan berada di atas rumah, karena rumah itu memang miliknya. Kalau kau laki-laki tidak apalah berada di luar rumah, karena laki-laki memang tidak memiliki rumah. Jadi Elfira, temanilah Ibu di atas rumah ini, karena rumah ini nantinya juga akan menjadi milikmu. Belajarlah dari sekarang, Elfira!”

Ah, Elfira berusaha menepis kabut itu dengan mengibas-ngibaskan tangan di udara. Rumah, adat, dan perempuan yang memilikinya, Elfira tidak pernah mengerti dan ia tidak pernah memahami. Ia hanya mengerti dengan dunianya, dengan dunia yang ia miliki. Dunia di mana ia bisa berlari.

Dan ibunya, bayangannya kembali hadir. Apakah ia akan seperti itu. Selalu, di atas rumah. Oh, alangkah membosankan, seorang perempuan yang saban hari dan sepanjang hidupnya hanya termangu di bibir jendela. Dan, ibunya, bayangan ibunya yang terbaring.

“Apakah aku harus kembali menaiki rumah itu?”

Tiba-tiba Elfira merasa ia seperti tergerak, ia, bergerak dengan sendirinya. Tubuhnya, tubuh itu seperti tidak bisa dikendalikan. Dan, mulut itu, bagian dari tubuh itu, berucap, berucap dengan sendiri, “rumah, rumah, rumah!”

Kabut yang membuat cemas. Tidak ada jarak. Jarak itu telah hilang. Kemudian semua melebur, lebur dalam diri Elfira. Oh, inikah sebuah kecemasan. Cemas akan kabut yang tidak tertepis. Kecemasan itu ada, kecemasan itu di depannya, saat ini. Tidak pernah ia bayangkan, semua. Namun kecemasan itu, entah kecemasan terhadap siapa. Siapa yang ia cemaskan.

“Aku memimpikan perempuan yang bisa merawatku nanti,” kekasihnya berkata lemah sambil mencoba memegang tangannya, “seperti saat ini.”

“Aku memimpikan perempuan yang bisa merawatku nanti,” Elfira mengulangnya, pelan, “aku memimpikan anak perempuan yang bisa merawatku nanti,” ia mengulang sekali lagi. Ia dapat merasakan, kata-kata itu pernah singgah. Tapi ada perbedaan, perbedaan yang sangat jauh dan keberartian yang sangat berbeda.

Elfira tertegun.

Ia ingin segera berlari, namun tiba-tiba ia merasa gerimis seperti berhenti. Baru ia menyadari ternyata ada yang memayungi. Seorang lelaki dan ia tersenyum. Elfira membalas senyum itu—yang ia sendiri tidak tahu apa artinya.

“Pak Tua selalu bercerita tentangmu. Ia menanyakan kabarmu.”

“Maaf, aku harus segera pulang. Ibuku telah menunggu di rumah.” Ia langsung berjalan, menguak kabut dan gerimis yang belum berhenti.

Ia kemudian berbelok ke sebuah pekarangan, di belakang sebuah gedung bertingkat lima. Ia mengenal halaman itu. Kanaknya pernah berlari di sana. Namun, rumah itu. Rumah yang hanya tinggal puing-puing dan tiang-tiang yang hangus terbakar. Itu rumahnya.

Elfira segera berlari, menyibak gerimis dan kabut. Tapi ia tidak menemukan apa-apa di antara puing-puing itu.

“Ke mana Ibu!”

Tiba-tiba gerimis berhenti di Kota Lalu.

Padang - Sungai Tarok, 0604-12

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun