Keterkaitan pendidikan dan buruh kian jelas, jika hari buruh dan hari pendidikan saling berurutan. Tanggal 1 Mei hari buruh internasional, sedangkan tanggal 2 Mei hari pendidikan nasional. Walaupun berbeda dalam wilayah peringatannya, namun bagi bangsa Indonesia tetaplah berurutan peringatannya.
Ada hal cukup menarik dari peringatan hari buruh yang selalu ditandai oleh demonstrasi. Ini sebuah tanda selama ini kehidupan buruh selalu menjadi sapi perahan atas sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme buruh hanyalah dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang secara perlakuan juga dianggap sama dengan bahan baku atau mesin. Bila kurang menguntungkan akan sangat mudah disingkirkan tanpa melihat dari sisi manusiawi. Demonstrasi sebagai protes dan cara berjuang buruh akan terus terjadi jika kapitalisme tetap dijadikan dasar pembangunan. Bukankah negara maju seperti Perancis bisa merasakan dampak krisis global cukup parah dan menjadikan kekuatan buruh makin beringas. Negara lumpuh dengan demonstrasi besar-besaran para buruh menuntut haknya yang terancam.
Sedangkan hari pendidikan, juga selalu terungkap berbagai ketidakadilan terjadi pada jutaan anak negeri yang tidak mampu menuntut hak dasarnya dalam pendidikan. Sejak reformasi, dunia pendidikan semakin tidak adil dan terus memakan korban. Berbagai program yang membedakan antara yang pintar dan bodoh semakin lebar. Menjamurnya sekolah berstandar nasional maupun internasional, beserta macam-macam kelasnya. Padahal kebanyakan yang pintar karena keluarga mereka mampu membayar pendidikan tambahan, sedangkan yang bodoh karena keluarganya tidak mampu dan waktunya bukan untuk belajar tetapi untuk kerja.
Standarisasi melalui UAN yang kini jadi ancaman serius atas kredibilitas berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Kecurangan justru menjadi aroma yang kuat demi mengejar impian yang tidak masuk akal. Akankah sama hasilnya jika faktor-faktor penentu suksesnya pendidikan justru diabaikan, padahal kenyataannya berbeda sangat jauh? Kelengkapan fasilitas, kualitas tenaga pengajar, cepatnya arus informasi serta bahan dasar pendidikannya sangat jauh berbeda. Hasilnya pun sesungguhnya sangat jauh berbeda, karena dimanipulasi asal bapak senang jadi 90 persen lebih yang lulus.
Belum lagi UU BHP yang nyata-nyatanya menjadi penguat akan ketidakmampuan pemerintah menjalankan amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah berlepas tangan atas tanggungjawab memenuhi pendidikan bagi rakyatnya. Justru sebaliknya kapitalisasi pendidikan kian jelas, siapa yang mampu bisa mengenyam pendidikan hingga puncaknya, sedangkan yang tidak mampu akan sampai pada tingkatan tertentu. Produk pendidikan mahal membuat lulusan juga melihat kesempatan hanya dihitung dari uang. Apapun dilakukan asal memperoleh uang banyak sebagai kompensasi biaya belajar yang besar, walau melanggar banyak aturan.
Saya masih ingat sebuah karikatur dalam sebuah buku yang ditunjukkan seorang teman disebuah toko buku. Digambarkan dalam buku itu, ada prosesi wisuda dan menampilkan seorang sarjana yang berhasil meraih prestasi, didampingi bapak dan ibunya. Bapaknya bilang kepada ibunya, "ini bu anak kita, sarjana berprestasi". Sedangkan di gerbang kampus ada mobil mewah yang di dalamnya juga ada keluarga yang terdiri bapak, anak dan ibu. Bapaknya bilang kepada anaknya "lihatlah itu sarjana berprestasi, itu calon kacung baru kita". Fakta ini jelas, sebagian besar mahasiswa meraih sarjana untuk mencari kerja, atau dalam karikatur jadi kacung.
Gambaran karikatur diatas kian parah, bila pendidikan pragmatis kian digalakkan. Bermunculan smk-smk yang diharapkan jadi solusi dari banyaknya pengangguran karena tanpa dibekali ketrampilan. Ini menunjukkan semakin jelas orientasi pendidikan kita yang mencetak menjadi buruh. Pertanyaannya, kapan kita jadi majikan di negeri sendiri? bila pendidikan kita memang mencetak generasinya jadi kacung di negeri sendiri.
Kacungisme ini bukannya alami, sejarah mencatat saat penjajahan kolonial Belanda, pendidikan tidak lepas dari bagian untuk mencari pekerja dari pribumi. Begitu juga kini, para kapitalis besar juga tidak mau kalah membiayai anak-anak berlian hingga paling puncaknya, namun ke depan mereka harus bekerja diperusahaannya. Inilah fakta pendidikan kapitalis pragmatis hanya untuk mencetak kacung-kacung berotak kolonialis imperialis.
Seharusnya gerakan memanusiakan manusia berawal sejak dalam bangku pendidikan hingga dalam dunia kerja. Ini berarti, harus menyingkirkan kapitalisme dalam pendidikan dan ekonomi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H