Bila kita amati demo di negeri ini, cukuplah menarik untuk disikapi. Setiap hari pasti ada demo, terutama di Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Suatu ketika hanya ada satu agenda demo, presenter salah satu TV nasional heran, “kok hanya ada satu, kan biasanya cukup banyak element masyarakat bergantian demo”. Belum lagi di daerah-daerah yang terus memenuhi headline media lokal dan tak jarang terangkat menjadi headline media nasional karena urgensi permasalahannya.
Demo menjadi kesukaan media untuk diliput, mengapa? Karena bagi media, adanya demo pastilah ada permasalahan. Bila demikian, pastilah banyak sekali permasalahan bangsa ini yang membuat rakyatnya terus secara bergantian melakukan demo agar permasalahnya didengarkan pemerintah dan cepat terselesaikan. Pertanyaanya, apakah didengar dan terselesaikan? Jawaban itu tentunya dapat dijawab pemerintah. Namun dalam pengamatan, ada yang didengar ada yang tidak. Malah, ada juga yang dilarang dan dibatasi ruang gerak rakyat dalam menyampaikan aspirasinya. Contohnya, demo peringatan hari anti korupsi atau demo seratus hari pemerintahan SBY II. Kemudian apakah cepat terselesaikan? Sungguh ini relatif menurut siapa? bagi pendemo, kalau bisa hari ini demo hari ini atau besok selesai, tapi kenyataanya? perlu demo-demo lagi yang lebih besar untuk mendesak pemerintah memprioritaskan masalahnya.
Demo dalam demokrasi ibarat saluran air yang katanya “tanpa hambatan”, tanpaknya tak semanis teorinya. Faktanya mereka menyatakan “banyak variabel yang mempengaruhi penyelesaian masalah”. Termasuk variabel pemerintah dalam menjalankan perannya untuk melayani kepentingan rakyat. Bila kita mengamati secara cermat, hampir semua demo dikarenakan layanan pemerintah yang salah atau kurang optimal. Sehingga rakyat menuntut pemerintah, bukan kepada yang lain untuk segera menyelesaikan permasalahannya.
Apakah ada resistensi pemerintah terhadap aksi demo? Teorinya demo adalah hak setiap rakyat, jadi Negara menjamin kebebasannya. Namun, faktanya lagi-lagi tak sesuai dengan teori. Sebagai contoh demo peringatan hari anti korupsi 9 Desember lalu, dirayakan berbagi elemen masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya menuntut penuntasan skandal Bank Century. Demo yang direncanakan jauh-jauh hari dan membuat panas suasana politik negeri ini, diprediksi akan dihadiri para tokoh nasioanal dan ratusan ribu orang. Begitu juga demo seratus hari pemerintahan SBY II, juga tak sesuai dengan harapan. Padahal ramai sekali rencana itu menggaung di media-media nasional. Tapi ternyata, jauh dari perkiraan, mengapa bisa terjadi?.
Berdasarkan fakta kejadian saat itu, sungguh tampak jelas resistensi pemerintah untuk memperkecil bahkan menggagalkan demo-demo tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain; ”membocorkan” informasi intelejen bila demo yang akan digelar anarkis, ditunggangi kepentingan orang-orang yang tak bertanggungjawab, danai mantan menteri atau pasangan Capres-cawapres yang tidak puas dengan hasil pemilu. Ternyata demonya damai dan tak ada kerusuhan, ini menjadi pertanyaan besar kualitas informasi intelejen yang membuat banyak orang takut dan tidak jadi ikut demo. Dilapangan tak kalah seru, panitia dilarang menggunakan panggung, sweeping peserta aksi oleh aparat bahkan sabotase transportasi demo. Jelas ini adalah bentuk resistensi pemerintah atas kasus besar yang dikira ”membahayakan” pemerintahan.
Atas resistensi pemerintah ini, menunjukan pemerintah tidak berani menyatakan dan mendukung kebenaran secara terbuka. Justru berupaya membelokkan dan menghambat berbagai aksi yang diduga akan membahayakan pemerintahan. Pertanyaannya bagi rakyat awam, ada apa dengan pemerintah? Mengapa pemerintah tidak berani mendukung aspirasi rakyat yang menjadi opini publik? Apakah pemerintah juga bagian dari permasalahan yang inigin diselesaikan rakyat? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnnya yang ada dipikiran rakyat.
Pikiran kita sekarang, bila demokrasi menyisakan masalah-masalah dan demokrasi juga tak mampu menyelesaikan masalah. Sungguh kehidupan manusia dan masa depannya akan mengalami kehidupan yang lebih tragis dari sekarang. Saatnya kita berfikir alternatif untuk keluar dari permasalahan ini, karena demokrasi ternyata bermasalah! Ada yang menawarkan Islam dengan jaminan Tuhan. Siapa mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H