Mohon tunggu...
Pinsil Tempur
Pinsil Tempur Mohon Tunggu... -

Pinsil Tempur, nama aslinya Ali Murtadho, pernah sekolah,pernah kuliah, pernah tidak lulus, pernah lulus, tapi bukan diploma apalagi sarjana, Aktifitas sehari-hari : bersepeda,membaca, menggambar, menulis dan bercinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dokter Indera ke Enam

5 April 2010   10:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kali ini aku akan bercerita tentang dokter. Berawal dari adanya ketidak beresan sistem pernafasanku. Keluarga istriku menyarankan berobat kepada dokter langgannnanya. Namanya dokter Indra. Kabarnya sang dokter telah berpraktek selama puluhan tahun.dengan reputasi yang mengagumkan.

Benar saja, prakteknya dimulai pukul lima sore sampai sembilan malam. Itu yang tertulis di papan nama kliniknya. Tapi kenyataannya, beliau selalu datang sekitar jam delapan malam lewat. Kau tahu berapa jumlah pasien yang antri? Hampir lima puluhan. Kalau tidak dibatasi, praktek dokter ini bisa selesai jam satu pagi. Tapi menurut petugas jaga, beliau sudah tidak terlalu kuat kalau harus praktek sampai pagi.

Jangan kau bayangkan kliniknya mewah dan mengkilap. Aku menyebutnya sederhana—kalau tidak boleh menyebutnya kotor.Tempatnya menjorok ke dalam gang. Catnya tidak putih seperti klinik pada umumnya, lampunya juga tidak seterang lampu toko. Ruang prakteknya sederhana. Hanya ada seperangkat meja. Jas putih dokter, dan tempat tidur periksa dan poster-poster yang telah lusuh. Botol obat berserakan disana-sini. Aku membayangkan mungkin sudah bebrapa bulan ruangan ini tak tersentuh sapu apalagi kain pel. Penjaganya, seorang permpuan umur empat puluhan, hanya menerima dan mencatat pendaftaran pasien. Selebihnya dia tidak mempunyai hak untuk membuka ruang praktek sang dokter apalagi menyapu dan mengepelnya. Ya, setidaknya menurutku.

Kini giliranku. Setelah ditannya keluhan, diperiksa tekanan darah, diperiksa detak jantung, suara paru-paru, kemudian beliau memberikan resep. Sekali lagi memberikan resep, bukan menuliskannya. Sebab beliau langsung memberikan obatnya ditempat. Tidak di tebus di apotik seperti dokter pada umumnya. Beliau menyarankan agar aku menghindari asap rokok, gorengan dan hawa yang dingin serta debu. Itu saja.Dan pada kesempatan keduaku untuk cek ulang, ternyata sang dokter tidak datang. Pasien kecewa. Menurut penjaga, beliau kecapekan.

Ada satu yang menggelitik jiwaku, ada seorang pasien yang kelihatan sudah agak payah. Bukannya ia ke klinik lain, tetapi dia bersedia menunggu untuk datang kembali sampai klinik buka tiga hari kemudian. Subhanallah, ternyata sugesti lebih berharga dari ilmu pasti. Sang pasien percaya melalui dokter Indra inilah Tuhan memberikan kesembuhannya.

Ada satu lagi yang terlewatkan, betapa pikiran positif, lebih menyembuhkan dari pada obat mahal dan fasilitas yang lengkap.

Sang dokter ternyata telah dipilih Tuhan, bagi hambanya yang percaya, bahwa kesembuhan sebenarnya ada di pikiran kita sendiri.

Menurutku pantas kalau dokter ini di panggil Profesor. Ya, orang yang mencintai profesinya sedemikian rupa. Sehingga pasien saja rela indent. Bukan main….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun