Mohon tunggu...
Pinsil Tempur
Pinsil Tempur Mohon Tunggu... -

Pinsil Tempur, nama aslinya Ali Murtadho, pernah sekolah,pernah kuliah, pernah tidak lulus, pernah lulus, tapi bukan diploma apalagi sarjana, Aktifitas sehari-hari : bersepeda,membaca, menggambar, menulis dan bercinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku (Tidak) Ingin Jadi Penyanyi

5 April 2010   06:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sejak kecil aku merasa kalau suatu hari nanti aku akan menjadi terkenal. Telepas mau jadi apa nanti. Segala profesi yang membuat seseorang terkenal; pernah aku coba. Dulu aku pernah ingin menjadi pemain bola. Tapi aku hanya mendapat posisi sebagai penjaga gawang. Padahal diantara teman-temanku akulah yang bisa lari paling cepat. Sebab satu kelemahanku. Konsep ruangku payah. Sehingga kalau aku membidik bola kearah gawang sebelah kanan, maka bola akan melesat arah sebaliknya. Itulah yang mengganggu teman-tamanku. Sehingga hanya ada dua posisi bagiku. Cadangan atau penjaga gawang. Tapi kelebihanku, walaupun tidak menyukai posisi ini, tapi aku maksimal memainkannya. Alhasil, gawangku jarang sekali kebobolan.

Kemudian aku ingin menjadi penyanyi. Vokalku yang serak-serak basah pantas untuk jadi vokalis band rock. Tapi kecerdasan bermusikku payah. Aku susah sekali belajar memainkan alat musik. Satu-satunya alat musik yang aku bisa--bukan kuasai—adalah pianika. Dan penguasaanku terhadap lagu tak kalah payah Satu-satunya lagu yang kuhafal selamasekolahadalah lagu Garuda Pancasila. Inilah lagu yangdengan bangga kunyanyikan pada saat ujian kesenian. Dengan warna suara rock, tak lebih dari lima, nilai yang kudapat. Pernah terlintas juga untuk menjadi dubber. Sepertinya keren sekali. Karakter apa yang ingin aku isi suaranya? Penjahat. Ya aku menyukai karakter-karakter penjahat, psikopat, dan pembunuh. Karena mereka jarang sekali bicara.

Kelas empat SD, aku diramalkan seseorang kalau kelak aku menjadi insinyur. Tapi seperti pernah kubilang, konsep ruangku lemah. Kesulitan membedakan antara kanan dan kiri.

Tapi aku tak patah arang, aku pasti nanti terkenal. Gampang, kata temanku. Jadilah kriminal paling sadis, maka dunia kan mengenalmu. Tapi aku tidak ingin dikenal sebagai kriminal. Walaupun pernah terlintas di benakku untuk membunuh seseorang.

Akhirnya guru Bahasa Indonesiakuyang menjawab kebingunganku. Kata beliau, menulis akan membuatmu terkenal. Ya hanya menulis. Menulis adalah meninggalkan ukiran jejakmu di bebatuan cadas. Ia akan abadi sekalipun tubuhmu te;lah menjadi tanah. Dan satu hal yang pasti. Dengan menulis kau akan mudah sekali mendapatkan uang. Inilah cambuk pertamaku. Aku kemudian bercita-cita sebagai wartawan. Wartawan perang. Atau kalau tidak wartawan kuliner. Tujuannya? Jalan-jalan sambil makan gratis. Dibayar pula.

Tetapi nasib membawaku ke arah yang salah. Bukan, bukan salah, hanya belum tepat. Terlalu panjang untuk sampai ke tujuan. Itu saja. Tetapi lika-liku profesi yang kualami akhirnya membawaku ke muara yang tepat. Ya aku sekarang harus menulis. Itu saja. Tulisanku diterbitkan adalah harapan, dan kelimpahan materi adalah efek. Aku hanya ingin menulis. Itu saja. Menulis dan mencerahkan. Merubah dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun