Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

PSI Partai Pragmatis

15 Agustus 2018   16:24 Diperbarui: 15 Agustus 2018   16:35 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan platform seperti disebutkan di atas, PSI nampaknya lahir hanya sebatas pemanis saja di panggung politik nasional. PSI dibentuk seolah hanya untuk ikut serta mempertahankan status quo. Hal ini bisa dilihat dengan masuknya PSI dalam gerbong petahana. Padahal jargon partai itu membawa kata "progresif" di dalamnya, yang tentu saja berarti perubahan.

Agenda politik yang coba ditawarkan oleh PSI juga terkesan sangat idealis, namun surut saat berhadapan dengan fakta kondisi politik nasional yang oligarkis.

Hal ini sesuai dengan apa yang  disampaikan oleh Guru Besar Monash University, Ariel Heryanto bahwa ada kondisi politik makro yang sulit untuk dihadapi oleh PSI. Kondisi struktural tersebut secara relatif dominan menentukan manuver aktor-aktor politik. Hal ini terbukti dalam kasus diamnya PSI saat Jokowi akhirnya tidak memilih Mahfud MD sebagai wakilnya.

Partai Pragmatis Transaksional?

Dalam kajian politik tentang sistem politik, Matthew Soberg Shugart dan John M. Carey menyebut sistem presidensial tidak cocok jika berjalan dengan sistem multi-partai. Bagi partai politik, kondisi tersebut memberi kesempatan terciptanya kondisi politik yang cenderung pragmatis, salah satunya ditunjukkan dengan perubahan sikap partai dalam berbagai momen politik.

Dengan kondisi demikian, partai politik di satu sisi memainkan peran dalam mendukung atau menghambat program pemerintah, sementara di sisi lain juga dituntut beradaptasi dengan tawar menawar politik yang memberinya keuntungan.

Pragmatisme menjadi alasan yang efektif bagi partai dan juga pemilihnya dalam membentuk identitas politik. Mobilisasi melalui sentimen ideologi menjadi sedemikian kabur saat partai menawarkan cara baru dalam memaknai partisipasi politik konstituen.

gimana @psi_id ? kalau mulut dan paradigma anggotanya ga bisa sama ya sama aja ama parpol lain.
jangan bikin statement aneh-aneh lah. paradigmanya partai itu A. kalau ga mau ikut paradigma A ya kelusr dr partai. yg tegas! jgn pragmatis! apa bedanya ama partai lain? cari duit?
--- Mr.Right (@_IIIIIIlIIIlII_) March 2, 2018

Kondisi ini yang kemudian digunakan oleh PSIdalam menarik simpati para pemilihnya dengan menggunakan narasi politik identitas yang majemuk. PSI berangkat dari pertarungan panas Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu yang menyeret politik identitas. Dengan begitu PSI coba mengambil ceruk pemilih milenial yang punya pandangan politik lebih "beragam".

Pragmatisme PSI semakin terlihat setelah partai ini masuk dalam kubangan konglomerat yang menjadi donatur partai. Dengan adanya fakta bahwa PSI dipayungi oleh kaum oligarki, sulit membayangkan jika PSI tidak terjebak dalam politik transaksional. Nama Sunny Tanuwidjaja dan Jeffrie Geovanie dalam jajaran Dewan Pembina PSI paling tidak bisa menjadi catatan penting bahwa partai ini ada dalam cengkraman konglomerasi.

Sunny adalah mantan bawahan staf khusus Gubernur Jakarta era Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang pernah dicekal oleh KPK terkait kasus suap rancangan peraturan daerah tentang reklamasi teluk Jakarta. Sunny merupakan penghubung antara Ahok dengan para pengembang reklamasi, termasuk pemilik PT Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun