Oleh Chris Boro Tokan
Dalam mencermati tiga kali debat Capres-Cawapres menuju Pilpres 9 Juli 2009, maka debat 1 penekanan pada aspek Demokrasi, debat 2 berfokus pada bidang ekonomi, sedangkan debat 3 menyangkut politik hubungan internasional dan daya tahan bangsa dalam tatanan dunia. Perlu secara kritis mencermati paradigma Pancasila yang terkandung dalam setiap ajang debat capres-cawapres itu. Mengapa? Karena Pancasila itu menjadi dasar falsafah (nilai dan ideologi) pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dan dalam kehidupan tata dunia.
Masalah sering timbul dalam membicarakan hal “paradigma” (istilahnya Thomas Kuhn), karena sering dianggap membicarakan hal abstrak (tidak konkrit), hal yang terlalu teoritis, ideal, jika dibandingkan pemfokusan pada hal operasional, langsung praktek demi menjawab hal nyata yang dibutuhkan/diinginkan masyarakat. Permasalahan demikian sering memetakan penilaian publik yang keliru terhadap sosok setiap calon pemimpin dalam kacamata kuda, yakni yang jagoan omong (retorika) vs yang jagoan kerja (blusukan). Penilaian kacamata kuda demikian sesungguhnya pengulangan polemik historis filosofis yang terjadi antara filsuf Hegel dalam filsafat idealisme/jiwa vs filsuf Marx dalam filsafat materialisme)/raga, badan. Filsafat idealisme dari Hegel menekankan hal yang ideal/abstrak, sedangkan filsafat materialisme Marx menekankan hal yang konkrit/nyata. Dengan demikian bagi Hegel bahwa mengkaji soal kehidupan dimulai dari hal yang ideal, jiwa (teori, konsep) sedangkan menurut Marx harus dimulai dari hal nyata, materi/raga (operasional, pelaksanaan konsep).
Akar dari perbedaan sudut pandang filsafat Hegel vs filsafat Marx sesungguhnya bermula dari filsafat dua dunia milik filsuf Plato, yakni dunia JIWA dan dunia RAGA. Dengan demikian antara sarana (RAGA) dengan substansi (JIWA) dari demokrasi, makro (JIWA) dengan mikro (RAGA) dari ekonomi, harus ada sesuatu yang menyatu-hidupkan yakni spirit (ROH). Hal ini hanya dapat dipahami dan dihayati secara akademis melalui hakekat makna filsafat "Dua Dunia" . Bahwa manusia itu terdiri dari JIWA dan RAGA. Pemahaman dan penghayatan secara filosofis menjadikan rakyat, manusia indonesia yang bijaksana dan mulia dalam proses menilai dan kelak memilih presidennya 9 juli 2014. Secara bijaksana pula menerima hasil pilpres nanti: kalah atau menang !!! Karena seluruh konsep dan pelaksanaan konsep yang disampaikan masing-masing capres dalam debat itu, tentu kelak didialektikan dan diintegrasikan secara harmonis oleh presiden hasil pilihan rakyat 9 juli 2014.
Jiwa (teori, konsep) dan Raga (operasionalisasi, pelalsanaan konsep) itu menjadi bermakna-bermanfaat maka harus disatu-hidupkan, didialektik-kan!!! jiwa itu cinta, sedangkan raga itu kasih !!!! jadilah CINTA-KASIH. Pendialektikan atau yang menyatu-hidupkan JIWA (kapitalis) dengan RAGA (sosialis) adalah ROH, nilai, ideologi (Pancasila) !!!! Maka itu saya katakan bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat berbangsa dan bernegara Indonesia, maka sesungguhnya sila-silanya merupakan perumusan kembali kesempurnaan dialektika kemuliaan kehidupan dalam bahasa Roh tentang peradaban dan kebudayaan dunia yang hilang (Atlantis yang Hilang). Bahasa Roh ibarat cermin yang memantulkan kemuliaan manusia, dan menegaskan mental (karakter/watak) manusia indonesia yang pancasilais, yang menjadi dasar pengelolaan kedaulatan pangan dan energi nasional. Berkedaulatan pangan dan energi nasional demi kedasyatan ketahanan nasional dalam negeri agar bangsa indonesia mampu menegakan kemanusiaan dalam keadilan politik dan ekonomi di panggung pergaulan internasional.
Keadilan Pancasila
Kalau dalam debat 1 itu, Prabowo melihat demokrasi itu sebagai sarana (struktur), karena kepatria-nya/kepatriotannya kepada negara, sedangkan Jokowi melihat demokrasi sebagai substansi (sistem) karena kepopulisannya kepada rakyat. Begitupun dalam debat 2 bagi capres Prabowo menyoroti aspek ekonomi secara makro karena lagi-lagi kepatriaannya terhadap negara, sedangkan capres Jokowi memfokuskan ekonomi secara mikro karena kepopulisannya itu. Dalam hal ini sesungguhnya masing-masing pendukung tidak boleh mempertentangkan kualitas sosok kedua orang capres, karena akan terjebak dalam pertentangan negara vs rakyat. Mengulang pertentangan gaya filsuf Hegel yang ideal sebagai tesis vs gaya filsuf Marx yang materiel sebagai antitesis. Maka itu diperlukan sintesa sebagai pendialektika, menyatukan/mengintegrasikan tesis dan antitesis untuk saling menguatkan/sinergitas. Maka itu Pancasila yang menjadi sintesa, Roh yang mendialektikan-mengintegrasikan jiwa dan raga, supaya menjadi satu dan saling menguatkan dan memuliakan.
Kesadaran kemuliaan manusia Indonesia berarti manusia religus yang mempunyai kedasyatan keyakinan tradisi yang diteguhkan iman agama sehingga menjadi jiwa dari segala pengembangan ilmu pengethauan dan teknologi (iptek). Kekukuhan karakter/watak Pancasila berarti manusia, bangsa Indonesia yang bijak dalam menserasi-selaraskan (mengharmoniskan) sila-sila Pancasila. Kesadaran kemuliaan manusia Indonesia dalam kekukuhan watak/karakter Pancasila, tercermati berlandaskan Pancasila sebagai jejak peradaban dan kebudayaan dunia yang hilang. Namun terumuskan kembali kesempurnaannya dalam bahasa Roh, melalui kelima silanya. Ketuhanan (sila 1)supaya semakin nyata berwujud dalam makna kemanusiaan (sila 2), peradaban, vertikal. Keadilan sosial (sila 5) senantiasa semakin nyata tercapai dalam kerakyatan yang berdemokrasi (sila 4), kebudayaan, horisontal. Saling dialektik terintegralistik vertical-horisontal (Persatuan) supaya sinergik (sila 3): Cinta-Kasih, sebagai poros salib/cross!!! Melalui kesadaran kemuliaan manusia Indonesia dalam kekukuhan watak/karakter Pancasila, tercapai kedaulatan bangsa Indonesia di bidang pangan dan energi di waktu 10 – 15 tahun mendatang.
Demikian demokrasi indonesia dalam pelaksanaan bukan saja sekedar demokrasi voting/perwakilan sebagai pengkonkritan politik kapitalisme dan demokrasi konsensus/musyawarah sebagai penekanan politik sosialisme, melainkan demokrasi dialektika yang menyatu-selaraskan/mengharmoniskan kapitalisme dengan sosialisme, yakni demokrasi Pancasila. Menyatu-harmoniskan (sila 3) demokrasi voting dengan demokrasi konsensus dalam demokrasi dialektika (sila 4), terletak dalam kualitas sumber daya manusia indonesia (SDMI). Kualitas SDMI yang berintikan nilai ketuhanan (sila 1) dan nilai kemanusiaan (sila 2) dalam penjabaran di setiap bidang kehidupan (budaya, ideologi, sosial, politik. Hukum, ekonomi. informasi, pertahanan. keamanan) untuk terwujud keadilan (sila 5) yang mencakup kepentingan bersama (bonum commune) baik di dalam negeri maupun dalam tatanan dunia.
Begitupun dalam membangun ekonomi indonesia, tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi dambaan kapitalisme atau menekankan pemerataan ekonomi yang diinginkan sosialisme. Namun bangsa indonesia harus berkemampuan mendialektikan secara harmonis ekonomi kapitalisme (mengejar pertumbuhan ekonomi) dengan ekonomi sosialisme (menekankan pemerataan ekonomi) sehingga terwujud kepentingan ekonomi bersama (bonum commune). Kemampuan mendialektikan secara harmonis, serasi selaras manusia kapitalis dengan manusia sosialis hanya dapat dilakonkan oleh manusia putih (revolusi putih), manusia yang terbersihkan/saleh. Berdampak kepada kualitas/kemampuan penegakan kehidupan hukum sehari-hari yang berkeadilan, yakni menserasi- selaraskan kepastian hukum ((benar-salah/logika) yang mengutamakan hukum tertulis (kapitalisme hukum) dengan kemanfaatan hukum (baik-buruk/etika) yang mengutamakan hal nyata berkaitan hukum tidak tertulis dan hukum yang hidup (sosialisme hukum).
Paradigma Pancasila dalam Debat