Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri di Ujung Senja

8 November 2016   11:51 Diperbarui: 8 November 2016   11:57 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sebuah negeri yang berada di ujung senja. Negeri itu termasyur karena keindahan langit sore yang tiada duanya. Pelancong dari tanah antah berantah berbondong-bondong datang demi menyaksikan senja yang mengapung di negeri itu. Mereka rela menunggu berjam-jam demi menjadi saksi tenggelamnya senja yang rupawan.

Para pelancong terpana kala warna langit perlahan berubah. Mereka diam tak bergerak, tersihir oleh keelokan senja yang belum pernah mereka lihat. Senja itu tidak hanya menyentuh mata mereka, namun menyusup sampai relung hati yang paling dalam. Badan mereka bergetar hebat menyaksikan senja yang warnanya tidak bisa diceritakan dengan lidah. Kata-kata tak mampu menggambarkan keindahaannya.

Senja di negeri itu bukanlah senja biasa. Senja yang tak bisa kamu jumpai di bumi manapun. Senja yang begitu cantik, hingga para pelukis paling jenius pun tak sanggup membuat replikanya. Para suami rela menceraikan istrinya demi menikah dengan senja itu. Dan ibu yang sedang mengandung akan berdoa agar anaknya kelak terlahir dengan paras secantik senja di negeri itu.

Senja itu begitu sempurna. Komposisinya pas hingga membentuk lukisan yang memukau. Matahari setengah bulat tenggelam tepat di tengah samudra. Awan tipis bergerumul memahkotai. Burung camar beterbangan disana-sini. Rentetan pohon berbaris rapi di tepi pantai.

Kemilau cahayanya memantul ke segala arah, mengubah negeri itu menjadi negeri oranye. Warnanya menempel di wajah-wajah para pelancong, dahan-dahan pohon, atap rumah, pasir pantai, batu karang, perahu kayu, burung camar, ombak laut. Warnanya begitu oranye hingga tak ada warna lain lagi selain oranye.

Kala senja merekah sempurna, tak ada satu pikiranpun yang berani berpaling darinya. Kepiting-kepiting yang berlarian liar akan terbius, burung camar diam di udara, angin berhenti berhembus, pohon tak lagi bergoyang, laut tenang tanpa ombak, pelancong mematung, dan segalanya menjadi sunyi senyap. Waktu memilh berhenti, menyaksikan senja yang tiada duanya itu.

Senja yang tersohor itu menarik minatku untuk berkunjung. Kurelakan waktuku yang berharga untuk menemui langit sore yang katanya luar biasa itu. Perlu puluhan jam untuk menemukan negeri asing itu, negeri terpencil yang berada di ujung senja.

Tiga hari, tiga sore, tiga malam aku berkelana di negeri itu. Dari garis pantai paling barat sampai garis pantai paling timur, juga daratan tinggi di utara hingga daratan rendah paling selatan. Namun senja yang banyak didongengkan orang-orang itu tak pernah kutemui.

Yang ada hanya air laut keruh, pasir hitam dengan kotoran yang menyebar dimana-mana, dan gunung-gunung sampah setinggi orang dewasa. Negeri ini jauh dari kesan indah, malah lebih jorok dari perumahan paling kumuh sekalipun.

Sisa makanan, botol plastik, kain kotor, kayu bakar, kondom habis pakai, semuanya tersebar makmur seperti jamur di musim hujan. Seolah memang disitulah tempat mereka berada. Dan yang menyebalkan, penghuni negeri ini tak peduli atau pura-pura tidak tahu.

“ Menunggu senja dek? ”, tanya seorang kakek yang melintas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun