Masyarakat Jakarta kini sedang dilanda dilema. Pilih tukang ojek langganan atau versi modern lewat aplikasi? Stop taksi di pinggir jalan atau tunggu dihampiri? Mau harga murah atau membantu "si bapak" langganan cari makan? Angkutan umum konvensional dengan angkutan umum berbasis aplikasi? Pilihan ini sekilas memang terlihat mudah dan sederhana, namun perseteruan yang terjadi baru-baru ini membuat saya terhentak sejenak dan sadar, apakah benar tidak ada jalan tengah? Memang angkutan konvensional harus tetap "kuno" dan kalah saing?
Perkembangan teknologi membawa serta perubahan. Yang sedang hangat dibicarakan adalah beralihnya angkutan umum konvensional ke angkutan umum berbasis aplikasi. Perubahan itu dapat dinilai positif atau negatif, tergantung dari sudut pandang dan prinsip, serta kepentingan dari pihak terkait. Tentu saja ada pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang.Â
Di satu sisi, transportasi online tentu membawa kemudahan. Anda malas keluar rumah tapi lapar? Tinggal buka aplikasi online lalu pesan makanan. Kini masyarakat juga tidak perlu lagi panas-panasan menunggu angkutan umum konvensional. Tinggal klik aplikasi dan transportasi yang akan datang menghampiri anda. Harga yang ditawarkan juga cukup bersaing. Berbagai aplikasi berebut saling promosi menawarkan harga murah dan fitur baru. Konon katanya harga angkutan konvensional bisa lebih mahal 2x lipat. Di sisi lain, ada juga pihak yang beranggapan bahwa perkembangan teknologi ini "memakan korban". Bagaimana dengan supir-supir angkutan konvensional yang tetap harus kejar setoran? Banyak pengemudi yang mengeluh sepi pelanggan dan tidak mampu memenuhi tuntutan setoran.
Angkutan berbasis aplikasi saat ini dapat menawarkan harga murah karena didukung berbagai investor. Selain membuka lapangan pekerjaan baru, sistem yang diberlakukan tidak merugikan pengendara. Tidak diberlakukan sistem setoran, pengemudi dibantu mencari pelanggan dengan adanya aplikasi, armada yang tersedia cukup memadai jumlahnya, dan terdapat peraturan mengenai kualitas kendaraan dan pelayanan yang mengutamakan kenyamanan dan kemudahan pelanggan. Dengan berlakunya peraturan resmi untuk layanan transportasi berbasis aplikasi yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) juga memastikan bahwa kendaraan umum berbasis aplikasi tidak "macam-macam". Jujur saja, saat ini Indonesia memang sangat membutuhkan layanan berbasis aplikasi ini, oleh karena itu tidak heran aplikasi angkutan laris manis diserbu pelanggan.
Ada baiknya jika pemerintah memikirkan cara untuk berenang dengan arus, bukan melawan arus. Perkembangan teknologi hendaknya dimanfaatkan, bukan dilawan. Jika tidak begitu, apakah Indonesia mau tetap tertinggal dari negara tetangga? Daripada mencari-cari kesalahan, sebaiknya pihak konvensional memikirkan bagaimana cara bersaing yang baru dan "melawan" dengan cara sehat. Bisa dari segi kualitas maupun harga. Banyak warga yang bersaksi bahwa mereka menghindari angkutan konvensional karena alasan kebersihannya kurang, armada yang masih kurang (capek juga kan harus desak-desakan terus?), pelayanan yang kurang ramah, kualitas kendaraan yang kurang terawat, pengemudi yang ugal-ugalan, dan masih banyak lagi. Teknologi yang sudah ada juga dapat dimanfaatkan. Toh teknologi ada untuk menawarkan kemudahan bagi berbagai pihak. Kita selalu dapat belajar dari sistem yang lebih baik. Bukan berarti mencontek, namun bandingkanlah dan cari tahu, apa yang salah dengan sistem sekarang? Beradaptasi dengan jaman bukanlah hal yang buruk. Â Jika sistem yang ada saat ini "direnovasi", niscaya angkutan konvensional tidak akan kalah saing dan warga juga tidak akan ragu memilihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H